Rabu, 15 Agustus 2012
Quiz AOD
Hei. Andini nge-post egen.
Kali ini, gue bakal nge-share tentang game yang dibuat oleh
AOD. Ya, walaupun masih sederhana dan mirip sama Parampaa, menurut gue ini luar
biasa.
Kenapa?
Temen-temen pasti udah pada tau game Parampaa. Dan pernah
memainkannya. Kalo belum pernah, mending masuk goa lagi deh.
Mainin Parampaa-nya sendiri udah bisa bikin otak
ngos-ngosan. Gimana buatnya? Pembuatnya pasti tau jawaban dari game yang dia
buat. Nah ini gue ngomong apa. Fokus. Fokus.
Honestly, gue nggak bisa buat begituan. Yap, otak-atik
software sampe ngasilin sesuatu, gue nggak bisa. Dan mereka, yang seumuran sama
kayak gue, 14tahun, mereka bisa. Gue terlalu melebih-lebihkan. Bodo amat.
Awalnya, temen gue, Riska, datang ke tempat duduk gue pas
gue lagi ngerjain tugas dikelas.
Riska
Gue
Bang, tetanggaku kan punya game, nih. Mirip Parampaa. Yang buat
4otrang cowok. Ada yang ganteng lho, bang. Ada yang aku suka…. Engg, kamu mau
nggak wawancara mereka? Buat promosiin game mereka juga, sih. *iye, gue dipanggil Abang=_=
Woo. Kelas berapa? Sekolah dimana
Sama kayak kita. Kelas 3. Di SMP 3
Ngggg. Serius? Hebat dong.
Iya. Kalo kamu mau liat permainannya, hari ini aku bawa
laptop kok.
Sip. Ntar aku liat.
Kapan bisa wawancarainnya?
Engg, minggu ini keknya banyak tugas deh, Ris. Minggu depan deh. udah longgar.
Oke. Ntar aku kasitau mereka
Dan pertanyaan mulai menggantung. Gue harap ada yang langsung
jawab pertanyaan-pertanyaan gue.
Kalo SMP 3 bisa, kenapa SMP 1 nggak bisa?
Di sekolah kita kan juga banyak yang jago komputer?
Temen-temen SMP 3 itu siapa yang ngajarin?
Gampang emang ya buat kayak begitu?
Si Olga sama Jessica nggak pacaran, ya?
Engg..
Masih banyak pertanyaan yang madesu berguguran. Menjadi butiran debu. Dan takkan terganti…
Oke. Lebay.
Dan gue mumutuskan buat mewawancarai mereka.
Semuanya cowok. Wawancara ajadeh. Siapatau dapat gebetan…..
:endusendus:
Gue, Ijah, Riska dan AOD sepakat wawancara tanggal 8 agustus.

AOD sendiri singkatan dari Angel Or Devil. Kurag gaul apa. Angel buat Kevin dan Tresna. Devil buat Penta dan Rahmat.
Gue nggak tau maksud ‘terselubung’ kasih si Penta sama
Rahmat, Devil. Mungkin muka mereka mirip devil kaliya *iniapa
Karna baru pertama kali ngewawancara orang luar, gue grogi. Yep, biasanya, gue wawancarai temen-temen sekolah aja. Dan ini pengalaman pertama.
Biasanya, sebelum wawancara, gue nulis pertanyaan-pertanyaan di buku. Sebanyak apapun. Tapi, gue Cuma dapat tiga. Dan itu harusnya udah pertanyaan di luar kepala. Gue merasa bego. Mely Goeslaw pun ikutan bego…..
Balik ke AOD, 4 cowok kece ini, udah sahabatan dari kelas 7 semester kedua. Dan mereka udah menghasilkan game-game dari kelas 8. kalo nggak salah. Gue udah lupa. Dan yang paling membumi, adalah game AOD yang mirip Parampaa.
Awal gue mikir, kalo mirip Parampaa, berarti mereka plagiat. Dan gue nyesel mikir gitu. Gue aja nggak bisa. Dan gue ngehargain mereka. Meraka terinspirasi. Iya, gue aja yang bego.
Yu nouoo? Mereka buat game AOD kurang dari satu minggu. HAHAHAHA. Percaya apa enggak sih terserah. dan game AOD 1 terdiri dari 53level. kalo nggak salah. Gue banyak salah nih keknya=_=
Dan.. apa lagi? Tentang mereka itu aja, ya.
Walaupun keempatnya, gue kasih 'disini', alamat linknya beda-beda kok =)
Dan buat temen SD gue, SMP gue........ semuanya njeh, bisa cek info lebih lengkap tentang Quiz AOD disini
satu lagi 'disini', itu linknya juga nggak sama. hihi.
Dan Quiz ini belum izin sama Pencipta Parampaa. Jadi, yagitu. gue nggak tau apaan=_=
Especially, buat AOD, gue nge-post beginian, cuma ngebantu kalian dan inilah hasil kekaguman gue ke kalian. agak alay. bodo amat. Engg... semoga dengan gue nge-post beginian, Quiz kalian semakin banyak yang mainin... dan.. GUE DAPAT ROYALTY *nazaruddin goyang dombret*
Silahkan dicoba yaaa~
Komengtarnya, ditunggu :)
Stak in de momen
Subhanallah, gue nge-post lagihhhhh *nazaruddin goyang dombret*
Karna blog ini dari dulu isinya ya nyeritain tentang engggg…
uhuk. Ya itu-itu aja sih. Dan gue udah nggak kontakan lagi sama kamu. Mati cerita,
mungkin. Iya. Bukan mungkin.
Dan, gue nggak pernah bilang kalo gue capek nulis
cerita-cerita tentang kamu. Karna, gue nulis untuk menanti kamu, membacanya :)
Dan, gue selalu berfikir, kalo kamu nggak pernah baca
cerita-cerita gue. Kenapa? Karena cerita-cerita tentang kamulah yang bikin gue
jatuh cinta sama dunia jurnalistik. Karena kamu adalah sumber inspirasi. Karena
kamu, gue ingin tetap menulis :)
Dan, kamu tau rasanya ditinggalin sama inspirasi? Entahlah. Mungkin
otak gue menyusut. Pemikiran gue terlalu sempit. Dan gue hanya berfikir bahwa
inspirasi datangnya cuma dari kamu. kamu nggak tau seberapa besar efek yang
kamu kasih. Nggak bakal tau. dan gue menikmatinya.
Senangkah? Bahagiakah? Hampa.
Gue nawaitu setiap
harinya. Gue nggak mau ninggalin blog gue seenak perut. Karna apa? Gue kembali
karna gue sadar, blog ini gue buat untuk nyeritain tentang cerita kita yang
nggak pernah selesai. Ya, walaupun kita udah lostcontact. Ya, walaupun kamu
udah nyeleseinnya secara nggak langsung.
At last, gue nggak tau mau nyeritain apa lagi di sini. Gue juga
ngga mau terus menganggap kamu adalah inspirasi terbesar gue di blog ini.
Dan gue.. engg…… butuh lagi.
Kau tau? honestly, gue mau blog ini melukis senyumnya karena
dapat inspirasi dari kamu. Lagi. Itu aja.
Karna kamu, membuat gue sadar, betapa hanya ada satu kamu di
semesta ini.
(backsound: SUM41-With Me)
Senin, 13 Agustus 2012
Rabu, 08 Agustus 2012
Bapak Tua Penjual Amplop di ITB
Kisah ini gue dapat di fanbase Stand Up Comedy Indonesia di Facebook. Adminnya sendiri mendapatkannya dari http://goo.gl/euXtw (Blog Rinaldi Munir)
Kisah Kakek Penjual Amplop di ITB. Kisah nyata ini ditulis oleh seorang dosen ITB bernama Rinaldi Munir mengenai seorang kakek yang tidak gentar berjuang untuk hidup dengan mencari nafkah dari hasil berjualan amplop di Masjid Salman ITB. Jaman sekarang amplop bukanlah sesuatu yang sangat dibutuhkan, tidak jarang kakek ini tidak laku jualannya dan pulang dengan tangan hampa. Mari kita simak kisah Kakek Penjual Amplop di ITB.
Setiap menuju ke Masjid Salman ITB untuk shalat Jumat saya selalu melihat seorang bapak tua yang duduk terpekur di depan dagangannya. Dia menjual kertas amplop yang sudah dibungkus di dalam plastik. Sepintas barang jualannya itu terasa “aneh” di antara pedagang lain yang memenuhi pasar kaget di seputaran Jalan Ganesha setiap hari Jumat. Pedagang di pasar kaget umumnya berjualan makanan, pakaian, DVD bajakan, barang mainan anak, sepatu dan barang-barang asesori lainnya. Tentu agak aneh dia “nyempil” sendiri menjual amplop, barang yang tidak terlalu dibutuhkan pada zaman yang serba elektronis seperti saat ini. Masa kejayaan pengiriman surat secara konvensional sudah berlalu, namun bapak itu tetap menjual amplop. Mungkin bapak itu tidak mengikuti perkembangan zaman, apalagi perkembangan teknologi informasi yang serba cepat dan instan, sehingga dia pikir masih ada orang yang membutuhkan amplop untuk berkirim surat.
Kehadiran bapak tua dengan dagangannya yang tidak laku-laku itu menimbulkan rasa iba. Siapa sih yang mau membeli amplopnya itu? Tidak satupun orang yang lewat menuju masjid tertarik untuk membelinya. Lalu lalang orang yang bergegas menuju masjid Salman seolah tidak mempedulikan kehadiran bapak tua itu.
Kemarin ketika hendak shalat Jumat di Salman saya melihat bapak tua itu lagi sedang duduk terpekur. Saya sudah berjanji akan membeli amplopnya itu usai shalat, meskipun sebenarnya saya tidak terlalu membutuhkan benda tersebut. Yach, sekedar ingin membantu bapak itu melariskan dagangannya. Seusai shalat Jumat dan hendak kembali ke kantor, saya menghampiri bapak tadi. Saya tanya berapa harga amplopnya dalam satu bungkusa plastik itu. “Seribu”, jawabnya dengan suara lirih. Oh Tuhan, harga sebungkus amplop yang isinnya sepuluh lembar itu hanya seribu rupiah? Uang sebesar itu hanya cukup untuk membeli dua gorengan bala-bala pada pedagang gorengan di dekatnya. Uang seribu rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi bapak tua itu sangatlah berarti. Saya tercekat dan berusaha menahan air mata keharuan mendengar harga yang sangat murah itu. “Saya beli ya pak, sepuluh bungkus”, kata saya.
Bapak itu terlihat gembira karena saya membeli amplopnya dalam jumlah banyak. Dia memasukkan sepuluh bungkus amplop yang isinya sepuluh lembar per bungkusnya ke dalam bekas kotak amplop. Tangannya terlihat bergetar ketika memasukkan bungkusan amplop ke dalam kotak.

Saya bertanya kembali kenapa dia menjual amplop semurah itu. Padahal kalau kita membeli amplop di warung tidak mungkin dapat seratus rupiah satu. Dengan uang seribu mungkin hanya dapat lima buah amplop. Bapak itu menunjukkan kepada saya lembar kwitansi pembelian amplop di toko grosir. Tertulis di kwitansi itu nota pembelian 10 bungkus amplop surat senilai Rp7500. “Bapak cuma ambil sedikit”, lirihnya. Jadi, dia hanya mengambil keuntungan Rp250 untuk satu bungkus amplop yang isinya 10 lembar itu. Saya jadi terharu mendengar jawaban jujur si bapak tua. Jika pedagang nakal ‘menipu’ harga dengan menaikkan harga jual sehingga keuntungan berlipat-lipat, bapak tua itu hanya mengambil keuntungan yang tidak seberapa. Andaipun terjual sepuluh bungkus amplop saja keuntungannya tidak sampai untuk membeli nasi bungkus di pinggir jalan. Siapalah orang yang mau membeli amplop banyak-banyak pada zaman sekarang? Dalam sehari belum tentu laku sepuluh bungkus saja, apalagi untuk dua puluh bungkus amplop agar dapat membeli nasi.

Setelah selesai saya bayar Rp10.000 untuk sepuluh bungkus amplop, saya kembali menuju kantor. Tidak lupa saya selipkan sedikit uang lebih buat bapak tua itu untuk membeli makan siang. Si bapak tua menerima uang itu dengan tangan bergetar sambil mengucapkan terima kasih dengan suara hampir menangis. Saya segera bergegas pergi meninggalkannya karena mata ini sudah tidak tahan untuk meluruhkan air mata. Sambil berjalan saya teringat status seorang teman di fesbuk yang bunyinya begini: “bapak-bapak tua menjajakan barang dagangan yang tak laku-laku, ibu-ibu tua yang duduk tepekur di depan warungnya yang selalu sepi. Carilah alasan-alasan untuk membeli barang-barang dari mereka, meski kita tidak membutuhkannya saat ini. Jangan selalu beli barang di mal-mal dan toko-toko yang nyaman dan lengkap….”.

Si bapak tua penjual amplop adalah salah satu dari mereka, yaitu para pedagang kaki lima yang barangnya tidak laku-laku. Cara paling mudah dan sederhana untuk membantu mereka adalah bukan memberi mereka uang, tetapi belilah jualan mereka atau pakailah jasa mereka. Meskipun barang-barang yang dijual oleh mereka sedikit lebih mahal daripada harga di mal dan toko, tetapi dengan membeli dagangan mereka insya Allah lebih banyak barokahnya, karena secara tidak langsung kita telah membantu kelangsungan usaha dan hidup mereka.
Dalam pandangan saya bapak tua itu lebih terhormat daripada pengemis yang berkeliaran di masjid Salman, meminta-minta kepada orang yang lewat. Para pengemis itu mengerahkan anak-anak untuk memancing iba para pejalan kaki. Tetapi si bapak tua tidak mau mengemis, ia tetap kukuh berjualan amplop yang keuntungannya tidak seberapa itu.
Di kantor saya amati lagi bungkusan amplop yang saya beli dari si bapak tua tadi. Mungkin benar saya tidak terlalu membutuhkan amplop surat itu saat ini, tetapi uang sepuluh ribu yang saya keluarkan tadi sangat dibutuhkan si bapak tua.

Kotak amplop yang berisi 10 bungkus amplop tadi saya simpan di sudut meja kerja. Siapa tahu nanti saya akan memerlukannya. Mungkin pada hari Jumat pekan-pekan selanjutnya saya akan melihat si bapak tua berjualan kembali di sana, duduk melamun di depan dagangannya yang tak laku-laku.
* Pelajaran Moral : Mari kita bersyukur telah diberikan kemampuan dan nikmat yang lebih daripada kakek ini. Tentu saja syukur ini akan jadi sekedar basa-basi bila tanpa tindakan nyata. Mari kita bersedekah lebih banyak kepada orang-orang yang diberikan kemampuan ekonomi lemah. Jangan terlalu sering main2 di mall, maen di tempat mahal, gunakan uang kita yang notabene adalah uang titipan Allah. Allah akan membalas setiap sedekah kita, AMIN.
Jadi gaul dihadapan manusia itu mudah, tapi jadi gaul di hadapan Allah SWT itu yang harus sebenarnya kita cari.
Langganan:
Postingan (Atom)