Cari Blog Ini

Kamis, 24 Juli 2014

Karena Hujan Tak Tahu Bagaimana Rasanya Jadi Awan

Setiap awan mempunyai ceritanya sendiri.
Awan yang berarak di langit senja kala itu memilih melintas sendirian.
Awan hitam, yang siap mengucurkan air matanya kapan saja.
Dan hujan, tak pernah sekalipun bertanya bagaimana rasanya jadi awan.
Hujan, kumpulan rintik-rintik air, bisa meninggalkan awan kapan saja, tanpa keraguan, tanpa belas kasihan.
Hujan pikir dia bisa kembali kapan saja.
Ya, rintikan itu akan kembali menguap ke angkasa.
Tetapi, apakah dengan rintikan yang menguap itu mampu membentuk awan yang sama? Tentu saja tidak. Rintikan air itu bukan rintikan yang sama lagi, dan awan bukan lagi awan yang menopang ribuan keluh kesah hujan yang sama.
Kita tak akan pernah sama lagi jika salah satu dari kita mulai berubah, atau bahkan perubahan bisa terjadi diantara kita berdua.
Aku, awan hitam yang tak pernah siap dikecewakan, tak pernah siap ditinggalkan.
Kamu, hujan lebat yang dinginnya mampu menusuk ruas-ruas rusukku, mampukah kau kembali dengan jiwa yang masih saja kurindu?
Asa awan memudar seiring tetesan air yang mendarat di keringnya bumi, senada dengan takdirku.
Awan, hujan, aku, kamu, tak ada lagi kita.


22 Juli 2014-15.30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar