Kurapal namamu dalam doaku
Lamat-lamat
hingga aku lupa hal lain yang ingin kuminta pada Tuhanku
Lamat-lamat
hingga aku lupa hal lain yang ingin kuminta pada Tuhanku
Aku ingat, aku berusaha meraih jendela yang
tingginya dua jengkal di atasku
menggeser kursi, kujadikan tumpuan, hinggga aku bisa melihat wajahmu dari balik kaca berdebu.
menggeser kursi, kujadikan tumpuan, hinggga aku bisa melihat wajahmu dari balik kaca berdebu.
Aku ingat, hal terbodoh yang pernah kualami
adalah tanganku yang menggenggam sebotol minuman tiba-tiba kelu dan akhirnya
mendarat jatuh ke aspal saat melihatmu di seberang jalan berusaha menyebrang di
zebra cross depan sekolah. Lalu kamu tersenyum, berusaha menahan tawa. Aku, aku
rasanya ingin menampar diri sendiri.
Aku ingat, ulangtahun ke-15ku kamu datang
menghampiriku yang sedang duduk di depan kelas. Menyalamiku dalam keadaan mata
kananmu yang saat itu sedang sakit. “Selamat ulangtahun, ya,” katamu dalam satu
napas. Aku, aku menahan napas, sesak.
Aku ingat, sepotong ayam asam-manis yang
kuberikan padamu saat ujian praktik tata boga. Dengan piring yang hanya ada
sepotong ayam, teman kelasku menyarankan untuk menghiasinya. Menganggap bahwa
itu adalah saran yang menarik, aku mengambil dua cabai besar dan selembar daun
seledri, kutata rapi. Kutitipkan pada teman kelasmu karena saat itu kamu sedang
muncuci peralatan makanmu. “Tolong kasitau dia, Din. Itu makanannya cepet
dimakan, soalnya mejanya mau diberesin,” ucap seorang guru yang mengawasi
kelasmu. Aku, aku tak punya nyali walau hanya sekadar menyapamu, terlebih
memintamu untuk segera memakannya.
Aku ingat, ketika Tuhan memintaku untuk sadar,
hingga sepatu kananku hilang siang itu. Aku yakin, Tuhan meminjamkan sepatu
kananku pada orang lain, yang mungkin ia lebih membutuhkkan, pantas
mendapatkannya, dan mungkin ia dapat menjaganya lebih baik daripada aku
menjaganya.
Dan pada akhirnya, aku yakin Tuhan akan
menggantikan sepatu kananku dengan yang lebih baik. Apapun itu, aku yakin pasti
akan baik.
19 Maret 2015 - 00.20