Cari Blog Ini

Sabtu, 06 April 2013

Hard to Breathe (tiga)

Cerita sebelumnya: Hard To Breathe, Hard To Breathe (dua)


Jum’at minggu kedua. Itu berarti sekolah Heina akan mengadakan senam bersama. Ya, sekolah Heina memiliki kegiatan yang berbeda-beda setiap Jum’atnya. Kelas 3 tersisa satu kelas. Tiga kelas lainnya sedang solat Dhuha bersama. kelas Heina sudah melakukannya Jum’at minggu lalu, jadi hanya kelasnya sajalah yang ikut senam bersama adik kelas lainnya.
“Nonton film,yok!” ajak Syahdan sesampainya di kelas. Senam cukup membuat letih.
“Film apa?” suara yang gak asing lagi, Tarra.
“Silent Hill 2”
Semua mulai mengambil posisi masing-masing. Banyak yang bergerombolan karena film ini termasuk menyeramkan. Heina sendiri mengambil posisi paling depan dekat layar ditemani Jeni dan Tarra. Sebenarnya Heina malas kalau nonton dekat Tarra. Alasannya karena Tarra banyak nanya saat film berlangsung. Tapi Heina selalu merasa tidak sendiri jika ada suara Tarra yang menggerogoti telinganya perlahan.
Dua puluh menit berlalu. Heina mulai tidak fokus nonton. Sebenarnya Heina ingin sekali keluar meilihat Azhar bermain bola atau hanya sekedar melihatnya keluar kelas.
“Ayok main voli!” ajak Heina kepada teman yang lain.
                “Ayok! Aku juga bosan nah nontonnya,” Tarra curhat.

Kelas Heina hanya memiliki dua orang yang mengikuti ekskul voli, Heina dan Tarra. Kebanyakan mengikuti ekskul basket. Dan tim basket sekolah juga banyak didominasi oleh kelasnya Heina, tak sedikit pula teman kelasnya yang masuk tim seleksi basket sekota Bontang. Dan mereka juga bisa bermain voli, walau kadang bolanya tidak terarah, tapi mereka bermain hanya untuk bersenang-senang. Ada juga yang bermain voli ingin menghilangkan rasa galau dan menyemesh bola sekuat-kuatnya.

Tidak ada pelajaran untuk kelas 3 setiap hari Jum’at semenjak semester 2. Itu berarti, bisa bermain voli sampai pulang sekolah. Azhar sudah bermain bola sejak selesai senam, Azhar letih dan duduk dekat lapangan voli bersama temannya yang lain.
                “Artha, Reno! Ayo main! Ini pemainnya kurang!” teriak Ojan kepada segerombolan pemain bola yang lagi istirahat.
                Artha dan Reno tidak beranjak dari tempatnya. Lalu Ojan mengajak Azhar. Azhar berdiri diikuti Reno. Reno satu tim dengan Ojan, sedangkan Azhar masuk di tim Heina. Seharusnya Heina satu tim bersama Ojan dan teman kelas Heina yang lain, tetapi Ojan menolak dan menyuruh Heina satu tim dengan Azhar.



                Terimakasih,Ojan. Gumam Heina dalam hati sambil menatap Ojan yang juga menatapnya.
Heina meneguk sebotol air putih dingin setelah berlama-lama di lapangan. Minuman favoritnya dari sekian banyak minuman bergula yang menurutnya sama sekali tidah menyehatkan.
                Masih ada 45 menit sebelum pulang. Heina dan teman-temannya memilih bermain di luar kelas, dekat pohon. Hanya ada 7 orang yang tersisa di kelas. Heina bermain dekat pohon bersama Dani dan Jeni, yang lain duduk di kursi bekas yang sudah tak layak pakai. Dani dan Jeni adalah saudara kembar yang umurnya hanya 7 menit bedanya. Sejak TK mereka selalu disekolahkan di sekolah yang sama. Ayah mereka cukup terkenal di kalangan guru-guru di kotanya, karena itu semua jadi mungkin jika Dani dan Jeni juga terus berada di kelas yang sama.
                Jeni mengajak Heina memanjat pohon. Heina menyetujuinya. Dengan cepat Heina memanjat pohon. Ya, Heina rindu manjat pohon. Terakhir kali Heina memanjat pohon 6 tahun lalu sebelum pohon belimbing depan rumahnya ditebang.
                Dani juga ikut memanjat pohon. Mereka bertiga memeragakan orang-orang saat foto pre-wedding walaupun tidak ada kamera. Dani turun diikuti Heina dan Jeni… Heina memanjat lagi diikuti Dani. Mereka memeragakan lagi, bergaya layaknya model. Dani turun. Saat Heina mau turun, Dani tiba-tiba berteriak ke arah kelasnya Azhar.

                “Azhaaar! Heina manjat pohon!”
                “Azhaaaar keluar! Heina manjat pohon!” suara teriakan dari teman kelas sebelah pun bermunculan seperti ketakutan Heina untuk lompat turun. Ya, kaki Heina digenggam oleh Jeni dan tangannya digenggam oleh Dani. Heina takut, jika dia melompat, tangannya akan…. Ah sudahlah.
Teman-teman Azhar sudah banyak di luar. Azhar memang jarang keluar kelas jika tidak penting.
Saat Heina menoleh ke kelas Azhar, Azhar sudah berdiri di depan pintu kelasnya. Heina membuang pandangan lagi.

                “Suruh turun,Zhar!” teriak Jeni

Heina menoleh ke kelas Azhar lagi, Azhar tidak disana. Heina mencari, didapatnya Azhar sudah tepat dibelakangnya. Heina mau turun. Heina terus menggerak-gerakkan kakinya, tetapi dia kalah kuat dengan Jeni.

Kelasnya Heina kali ini benar-benar kosong. Semua keluar. Kelas lain juga banyak yang keluar. Juga adik kelas. Heina berfikir, mungkin inilah efek minum Yakult tiap hari..
                “Na, turun,Na..,” satu suara yang memecah semua suara, menghilangkan semua suara. Yang ada hanya suaranya Azhar yang didengar Heina. Heina menoleh ke belakang, memastikan tadi benar suara Azhar.
                “Na, turun, Na…,” Azhar mengucapkannya lagi. Heina tidak salah menebak.
                “Tembak sudah,Zhar!” teriak Dinda di seberang sana.
Azhar maju, merangkai langkahnya.
Bummm! Heina mendarat dengan mulus. Azhar mundur kembali dan berlari kembali ke kelasnya.
“Mungkin kamu ilfeel liat cewek binal yang seharusnya anggun macam aku . Engg, tapi kan kamu nggak pernah punya feeling ke aku. Yaudah. Kamu sama Lestari aja,” Gumam Heina sambil berjalan ke kelas.


***

Sambil makan pentol yang dia beli pada paklek yang setiap sore lewat di gang belakang rumahnya, Heina teringat pada kejadian saat ulangtahunnya sebulan yang lalu.

26 Januari 2010

Heina mengira ulangthaun kali ini akan sama dengan tahun sebelumnya. Ternyata tidak. Walaupun ulangtahunnya kali ini tidak dirayakan, tetapi Heina rasa seisi dunia merayakannya.
Banyak sekali doa-doa yang Heina dapat dari teman-temannya; dari Facebook, Twitter, SMS, dan juga secara langsung.

                Mungkin hanya sebatas harapan saja jika Azhar menjabat tangan Heina untuk mengucapkan selamat ulangtahun. Orang yang jatuh cinta sering sekali berharap dan sering juga kecewa karena sering berharap.
Setelah istirahat pertama, seperti biasa, Heina dan teman-temannya bermain di luar kelas karena guru tak kunjung datang. Heina duduk di pojokan dekat pintu kelas. Tiba-tiba Lena dan Eka teriak-teriak memanggil Azhar.

                “Zhar! Hari ini Heina ulangtahun, lho!” Eka menebar suaranya dan bergema di teras depan kelas.
                “Zhar! Ucapin selamat ulangtahun ke Heina tunah!” Lena menambah.

Tak lama, Azhar muncul dan berjalan ke arah Heina. Tidak ada yang mendorongnya. Tetapi, menurut Heina itu adalah paksaan, makanya Azhar mau mendatangi Heina.

                Azhar semakin dekat dan tepat berada di depan Heina yang sedang duduk. Suara ‘ciee-ciee’ ada dimana-mana.

Heina tak berani menatap. Dia hanya melihat tangan Azhar yang sejak keluar dari kelas berayun-ayun dengan anggun. Gak. Dengan gagah. Tak lupa senyumannya yang terus tertempel di wajah Azhar.

                “Selamat ulangtahun,ya..” ucap Azhar yang sudah menggantungkan tangannya di depan Heina dengan senyum khasnya yang lebar.
                “I-iya, makasih,ya..” jawab Heina masih kaget sambil mengisi separuh telapak tangan Azhar yang (sepertinya) ingin diisi.
Menjadi hari pertama Heina melihat Azhar dari jarak yang sangat dekat……. Dan juga pertama kalinya bersalaman dengan Azhar.

Lalu Azhar pergi. Heina lari masuk ke kelasnya loncat-loncat dan mengucapkan terimakasih kepada teman-temannya.

Terimakasih Tuhan, satu harapanku sudah kau kabulkan. Semoga terus seperti ini.

***

Semua terasa benar. Jika ini salah, biarkan aku hanyut dalam kesalahan bodoh yang indah ini.
Aku tidak merasa bahwa aku dirubah oleh Heina. Sekalipun Heina merubah, aku yakin, itu memang pantas dirubah untuk semakin menjadi aku yang sebenarnya. Hanya dengan mendengar suara tawa milik Heina, aku tahu dia pasti baik-baik saja. Aku tidak tahu bagaimana memulai sebuah percakapan. Walaupun aku ingin sekali mengetahui kabarnya dan apa yang sedang dia lakukan atau hanya sekedar mengingatkannya dia solat. Aku sadar aku harus memberi batasan pada diriku sendiri. Aku tak ingin Heina terus menanti dan ditinggalkan untuk kesekian kalinya. Aku rasa Heina sudah ama bisa melepaskan orang-orang yang meninggalkannya. Tapi, aku tak tahu, bagaimana Heina tanpa aku.





Bersambung…...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar