Jum’at minggu kedua. Itu berarti sekolah Heina akan
mengadakan senam bersama. Ya, sekolah Heina memiliki kegiatan yang berbeda-beda
setiap Jum’atnya. Kelas 3 tersisa satu kelas. Tiga kelas lainnya sedang solat
Dhuha bersama. kelas Heina sudah melakukannya Jum’at minggu lalu, jadi hanya
kelasnya sajalah yang ikut senam bersama adik kelas lainnya.
“Nonton film,yok!” ajak Syahdan sesampainya
di kelas. Senam cukup membuat letih.
“Film apa?” suara yang gak asing lagi, Tarra.
“Silent Hill 2”
“Film apa?” suara yang gak asing lagi, Tarra.
“Silent Hill 2”
Semua mulai mengambil posisi
masing-masing. Banyak yang bergerombolan karena film ini termasuk menyeramkan.
Heina sendiri mengambil posisi paling depan dekat layar ditemani Jeni dan
Tarra. Sebenarnya Heina malas kalau nonton dekat Tarra. Alasannya karena Tarra
banyak nanya saat film berlangsung. Tapi Heina selalu merasa tidak sendiri jika
ada suara Tarra yang menggerogoti telinganya perlahan.
Dua puluh menit berlalu. Heina
mulai tidak fokus nonton. Sebenarnya Heina ingin sekali keluar meilihat Azhar
bermain bola atau hanya sekedar melihatnya keluar kelas.
“Ayok main voli!” ajak Heina kepada
teman yang lain.
“Ayok! Aku juga bosan nah nontonnya,” Tarra curhat.
“Ayok! Aku juga bosan nah nontonnya,” Tarra curhat.
Kelas Heina hanya memiliki dua orang yang mengikuti ekskul
voli, Heina dan Tarra. Kebanyakan mengikuti ekskul basket. Dan tim basket
sekolah juga banyak didominasi oleh kelasnya Heina, tak sedikit pula teman kelasnya
yang masuk tim seleksi basket sekota Bontang. Dan mereka juga bisa bermain
voli, walau kadang bolanya tidak terarah, tapi mereka bermain hanya untuk
bersenang-senang. Ada juga yang bermain voli ingin menghilangkan rasa galau dan
menyemesh bola sekuat-kuatnya.
Tidak ada pelajaran untuk kelas 3 setiap hari Jum’at
semenjak semester 2. Itu berarti, bisa bermain voli sampai pulang sekolah.
Azhar sudah bermain bola sejak selesai senam, Azhar letih dan duduk dekat
lapangan voli bersama temannya yang lain.
“Artha,
Reno! Ayo main! Ini pemainnya kurang!” teriak Ojan kepada segerombolan pemain
bola yang lagi istirahat.
Artha
dan Reno tidak beranjak dari tempatnya. Lalu Ojan mengajak Azhar. Azhar berdiri
diikuti Reno. Reno satu tim dengan Ojan, sedangkan Azhar masuk di tim Heina.
Seharusnya Heina satu tim bersama Ojan dan teman kelas Heina yang lain, tetapi
Ojan menolak dan menyuruh Heina satu tim dengan Azhar.
Terimakasih,Ojan. Gumam Heina dalam hati
sambil menatap Ojan yang juga menatapnya.
Heina meneguk sebotol air putih dingin setelah berlama-lama
di lapangan. Minuman favoritnya dari sekian banyak minuman bergula yang
menurutnya sama sekali tidah menyehatkan.
Masih
ada 45 menit sebelum pulang. Heina dan teman-temannya memilih bermain di luar
kelas, dekat pohon. Hanya ada 7 orang yang tersisa di kelas. Heina bermain
dekat pohon bersama Dani dan Jeni, yang lain duduk di kursi bekas yang sudah
tak layak pakai. Dani dan Jeni adalah saudara kembar yang umurnya hanya 7 menit
bedanya. Sejak TK mereka selalu disekolahkan di sekolah yang sama. Ayah mereka
cukup terkenal di kalangan guru-guru di kotanya, karena itu semua jadi mungkin
jika Dani dan Jeni juga terus berada di kelas yang sama.
Jeni
mengajak Heina memanjat pohon. Heina menyetujuinya. Dengan cepat Heina memanjat
pohon. Ya, Heina rindu manjat pohon. Terakhir kali Heina memanjat pohon 6 tahun
lalu sebelum pohon belimbing depan rumahnya ditebang.
Dani
juga ikut memanjat pohon. Mereka bertiga memeragakan orang-orang saat foto
pre-wedding walaupun tidak ada kamera. Dani turun diikuti Heina dan Jeni… Heina
memanjat lagi diikuti Dani. Mereka memeragakan lagi, bergaya layaknya model.
Dani turun. Saat Heina mau turun, Dani tiba-tiba berteriak ke arah kelasnya
Azhar.
“Azhaaar!
Heina manjat pohon!”
“Azhaaaar
keluar! Heina manjat pohon!” suara teriakan dari teman kelas sebelah pun
bermunculan seperti ketakutan Heina untuk lompat turun. Ya, kaki Heina
digenggam oleh Jeni dan tangannya digenggam oleh Dani. Heina takut, jika dia
melompat, tangannya akan…. Ah sudahlah.
Teman-teman Azhar sudah banyak di luar. Azhar memang jarang
keluar kelas jika tidak penting.
Saat Heina menoleh ke kelas Azhar, Azhar sudah berdiri di
depan pintu kelasnya. Heina membuang pandangan lagi.
“Suruh
turun,Zhar!” teriak Jeni
Heina menoleh ke kelas Azhar lagi, Azhar tidak disana. Heina
mencari, didapatnya Azhar sudah tepat dibelakangnya. Heina mau turun. Heina
terus menggerak-gerakkan kakinya, tetapi dia kalah kuat dengan Jeni.
Kelasnya Heina kali ini benar-benar kosong. Semua keluar.
Kelas lain juga banyak yang keluar. Juga adik kelas. Heina berfikir, mungkin
inilah efek minum Yakult tiap hari..
“Na,
turun,Na..,” satu suara yang memecah semua suara, menghilangkan semua suara.
Yang ada hanya suaranya Azhar yang didengar Heina. Heina menoleh ke belakang,
memastikan tadi benar suara Azhar.
“Na, turun,
Na…,” Azhar mengucapkannya lagi. Heina tidak salah menebak.
“Tembak
sudah,Zhar!” teriak Dinda di seberang sana.
Azhar maju, merangkai langkahnya.
Bummm! Heina
mendarat dengan mulus. Azhar mundur kembali dan berlari kembali ke kelasnya.
“Mungkin kamu ilfeel liat cewek binal yang seharusnya anggun
macam aku . Engg, tapi kan kamu nggak pernah punya feeling ke aku. Yaudah. Kamu sama Lestari aja,” Gumam
Heina sambil berjalan ke kelas.
***
Sambil makan pentol yang dia beli pada paklek yang setiap
sore lewat di gang belakang rumahnya, Heina teringat pada kejadian saat
ulangtahunnya sebulan yang lalu.
26 Januari 2010
Heina mengira ulangthaun kali ini akan sama dengan tahun
sebelumnya. Ternyata tidak. Walaupun ulangtahunnya kali ini tidak dirayakan,
tetapi Heina rasa seisi dunia merayakannya.
Banyak sekali doa-doa yang Heina dapat dari teman-temannya;
dari Facebook, Twitter, SMS, dan juga secara langsung.
Mungkin
hanya sebatas harapan saja jika Azhar menjabat tangan Heina untuk mengucapkan
selamat ulangtahun. Orang yang jatuh cinta sering sekali berharap dan sering
juga kecewa karena sering berharap.
Setelah istirahat pertama, seperti biasa, Heina dan
teman-temannya bermain di luar kelas karena guru tak kunjung datang. Heina
duduk di pojokan dekat pintu kelas. Tiba-tiba Lena dan Eka teriak-teriak
memanggil Azhar.
“Zhar!
Hari ini Heina ulangtahun, lho!” Eka menebar suaranya dan bergema di teras
depan kelas.
“Zhar!
Ucapin selamat ulangtahun ke Heina tunah!” Lena menambah.
Tak lama, Azhar muncul dan berjalan ke arah Heina. Tidak ada
yang mendorongnya. Tetapi, menurut Heina itu adalah paksaan, makanya Azhar mau mendatangi
Heina.
Azhar
semakin dekat dan tepat berada di depan Heina yang sedang duduk. Suara
‘ciee-ciee’ ada dimana-mana.
Heina tak berani menatap. Dia hanya melihat tangan Azhar
yang sejak keluar dari kelas berayun-ayun dengan anggun. Gak. Dengan gagah. Tak
lupa senyumannya yang terus tertempel di wajah Azhar.
“Selamat
ulangtahun,ya..” ucap Azhar yang sudah menggantungkan tangannya di depan Heina
dengan senyum khasnya yang lebar.
“I-iya,
makasih,ya..” jawab Heina masih kaget sambil mengisi separuh telapak tangan
Azhar yang (sepertinya) ingin diisi.
Menjadi hari pertama Heina melihat Azhar dari jarak yang
sangat dekat……. Dan juga pertama kalinya bersalaman dengan Azhar.
Lalu Azhar pergi. Heina lari masuk ke kelasnya loncat-loncat
dan mengucapkan terimakasih kepada teman-temannya.
Terimakasih Tuhan,
satu harapanku sudah kau kabulkan. Semoga terus seperti ini.
***
Semua terasa benar. Jika ini salah, biarkan aku hanyut dalam
kesalahan bodoh yang indah ini.
Aku tidak merasa bahwa aku dirubah oleh Heina. Sekalipun
Heina merubah, aku yakin, itu memang pantas dirubah untuk semakin menjadi aku
yang sebenarnya. Hanya dengan mendengar suara tawa milik Heina, aku tahu dia
pasti baik-baik saja. Aku tidak tahu bagaimana memulai sebuah percakapan.
Walaupun aku ingin sekali mengetahui kabarnya dan apa yang sedang dia lakukan
atau hanya sekedar mengingatkannya dia solat. Aku sadar aku harus memberi batasan
pada diriku sendiri. Aku tak ingin Heina terus menanti dan ditinggalkan untuk
kesekian kalinya. Aku rasa Heina sudah ama bisa melepaskan orang-orang yang
meninggalkannya. Tapi, aku tak tahu, bagaimana Heina tanpa aku.
Bersambung…...…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar