Hujan turun deras malam itu. Tanpa mantel yang
melekat di tubuhku, aku semakin melaju di jalan raya yang mulai sepi, gelap.
Semenjak Ayah pergi, rumah hanya sebagai tempat makan dan tidurku. Aku membenci
semua hal yang ada di rumah, aku membenci hidupku yang tak jelas arahnya.
Semakin dingin saja kurasa tubuh ini dan baru kali ini aku merasa ingin segera
sampai di rumah.
Kulihat
ibuku tertidur pulas di sofa lapuk. Terlihat dari raut wajahnya, sepertinya Ia
lelah. Teramat lelah. Aku melepas helmku di sembarang tempat, kutaruh tasku di
bawah jendela, aku tak peduli. Dengan langkah kecil dan tanpa suara, aku
melewati Ibuku yang jaraknya hanya satu meter dariku. Ruang tamu sekaligus
ruang keluargaku hanya sebesar tiga kali empat meter yang diisi dengan sofa, rak
sepatu, meja kecil,televisi, mesin jahit dan beberapa bingkai foto. Pelan
kulangkahkan kakiku, dan ternyata sepelan apapun aku mencoba pasti Ibuku akan
terbangun dan mendapati anak gadisnya pulang larut malam.
“Sudah
pulang, Lan?” tanya Ibuku dengan nada lembutnya.
“Nggak.
Ini masih di jalan.” Jawabku jutek. Lagi pula, aku sudah ada di depannya, untuk
apa menanyakan hal seperti itu?
Tanpa melihat ekspresi wajahnya, aku kembali
berjalan menuju kamarku, tempat yang paling nyaman, yang paling mengerti keadaanku.
Aku kembali keluar dan menemukan Ibuku sudah
tak ada di ruang tamu. Aku berjalan ke ke kamar mandi, melewati dapur pun tak
menemukannya. ah, aku tak bermaksud mencarinya. Sepertinya Ia tertidur di sofa
saat menungguku pulang. Kuambil segelas air hangat dan ingatan itu kembali
datang.