Mulutmu memang harimaumu.
Mungkin aku yang terlalu peka dan menganggap semuanya serius. Sebenarnya tidak. Aku orangnya tidak seriusan, belajar untuk TO aja kadang gak sepenuhnya belajar. Jadi, aku kenapa?
Telingaku juga yang kamu butuhkan agar aku bisa mendengar. Bagaimana jika aku tak bisa mendengar? Hah. Aku bersyukur masih bisa mendengar... dan mendengar ucapanmu, aku tak apa. Life must go on, kan? Haha. Kalau dibilang gak peduli sih, enggak. Karena aku udah ngetik beginian untuk kamu, berarti aku peduli sama omonganmu. Seharusnya aku bisa gak peduli, entah kenapa, omonganmu terus terngiang setiap melihatmu. Dan aku melihatmu setiap hari kecuali di hari minggu dan liburan sekolah. Liburan sekolah-pun kadang kita bermain bersama. Kita sangat dekat, ternyata. Aku sudah sadar. Kamu kapan sadarnya? Aku udah nganggep kamu sahabat... udah berapa bulan kita sama-sama? Mungkin akan jadi 24bulan. Yah, walaupun bukan seberapa lama kita bersama, tapi seberapa banyak momen yang kita buat selama bersama. Aku mulai puitis. Aku membenci diriku disaat seperti ini. Sebenarnya aku kesal. Aku mau marah ke kamu? Haha. Mulutmu harimaumu. Kamu pasti gak sadar udah ngomong kayak gitu ke aku.... didengar banyak orang dan aku ditertawakan. Kamu gak sadar. Akau kamu udah sadar? Dan semuanya itu sengaja? Haha. Setega itukah? Duh.
Banyak kali, dan aku masih saja seperti ini. Menganggap gak ada yang terjadi, mengganggap telinga ini tak berfungsi lagi. Hoooo, apakah aku dibodohi? Hm, aku tidak merasa dibodohi. Hanya saja dijadikan untuk kesenangan dan ketenaran diri.
Mungkin kalian tahu bagaimana rasanya banyak orang yang tertawa akan leluconmu. Itu menyenangkan memang. Tapi, lelucon yang seperti apa dulu. Aku sama sekali gak menoleransi lelucon yang menertawai ciptaan Tuhan. Seperti bentuk tubuh, warna kulit, bahkan panjangnya bulu hidung. Mengapa harus menghina dan menertawai ciptaan Tuhan? Bagaimana jika kamu berada diposisi orang yang kamu tertawakan? Feel it with the bottom of your heart. Ini agak lebay.
Jadi, intinya, jaga ucapan. Aku juga berusaha menjaga ucapanku, kok. Terkadang, jadi pendiam itu menyenangkan dan jauh dari masalah.
Berbicaralah seperlunya. Diam sama sekali atau berbicara dengan ucapan yang baik-baik dan tidak menyakiti.
Dan selama mengetk ini pula, aku sadar. Lisan itu bener-bener tajam. Aku gak tau gimana kalo aku ngelakuin kayak begitu ke orang lain yang dimana aku sudah pernah ngerasain pernah diperlakuin kayak gitu. Dan dari sinilah, kepingan cara hidup mulai datang satu-persatu. Aku gak boleh gituin orang lain, karena rasanya gak enak.
Ayo, kita sama-sama menjaga lisan. Dan tentang sahabatku, tenang, aku masih mau berteman denganmu. Semoga Allah memberikan kemudahan dalam hidupmu dan selalu dalam lindunganNya. Aaamiin.
Cukup sudah. Aku mau melanjutkan makan makaroni pedes yang aku beli di koprasi sekolah tadi pagi. Semoga harapan kita semua terkabul. Aaaaaamiiiiiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar