Cari Blog Ini

Jumat, 21 Juni 2013

Que Sera Sera



Ini semua karena laptopku yang gak mau nyambung sama Wi-Fi. Aku gak jutek kok. Aku selalu kayak gini; selalu gak bisa diem kalo mau pergi tidur, dan bikin milo sebelum tidur.

Dan untuk judulnya, awalnya aku kasih Mozaik Cengeng. Lalu tersadar, judul postnya Hadi ada Mozaiknya juga. Jadilah Que Sera Sera, yang akupun tidak tau artinya apa ._.

Malam ini aku tidur di rumah tanteku, yang rumahnya hanya dipisahkan oleh rumah nenekku. Ini penting, karena aku bisa internetan sampe pagi dan bisa nonton Spanyol main.
Dan malam ini kayaknya gak berpihak sama sekali kepadaku yang selalu lapar ini. Malam ini aku nangis bombay yang seharusnya aku pergi tidur. Dasar cengeng.
                Mungkin kalian yang membaca akan beranggapan seperti itu setelah membaca kata mujarab ‘nangis’. Iya, gatau kenapa, ini menurut pengalamanku sendiri. Orang yang nangis itu adalah orang yang cengeng. Menagisi yang sudah ditakdirkan untuk dia. Menangisi diri sendiri, dan ditertawai oleh semesta. Bodohnya, aku termasuk orang yang cengeng itu.

Cengeng pertama dikarenakan oleh Tahiti yang dibobol gol sampe 10, dan Tahiti tidak membalas satu gol pun. Tidak, aku bukan fansnya Tahiti. Walaupun aku pendukung setia La Furia Roja dengan sepenuh hati, tapi Tahiti membuatku terenyu akan segala permainannya. Gak ngerti ya? Huft.

Awalnya emang nganggep Tahiti ini ecek-ecek (baca: apa banget, nggak sepadan, amatir buat jadi lawan). Eh bukannya gimana, tapi tau dari statistik. Aku nggak maksud ngejelekin kok. Aku tetep cinta sepakbola, bukan cuma Spanyol, Barca, dan Arsenal aja.

Dan pas main, anggapan tentang ‘ecek-ecek’ itu nggak pernah lepas dari pikiran. Halftime lewat, skornya udah jauh. Aku tertawa puas karena Spanyol udah banyak ngegolin karena lagi, tentang ‘ecek-ecek’ itu. Aku juga tertawa karena permainan Tahiti yang duh-apa-banget-sih.

Dan saat Spanyol dapat penalty karena kesalahan pemain yang handball, aku mulai terenyu. Torres yang sudah menyumbangkan 3 gol itu, menjadi algojo. Dang! Aku, yang sudah yakin Torres bisa mencetak gol keempatnya, kecewa dan teriak juga di depan tivi. Ya, bolanya menabrak mistar gawang. Torres dan teman-teman lainnya biasa aja. Aku kira, ini karena mereka udah ngegolin banyak, jadinya not a big problem. Aku salah. Bodoh.

Apa yang dilakukan kipper Tahiti yang ternyata skor tidak jadi 9-0? Roche, kipper Tahiti langsung menghadap ke penonton dan mengepalkan tangannya ke udara dengan raut wajah yang saaaaaaaangat bahagia. Awalnya aku bingung, “ini kok udah kalah telak masih bahagia banget?” kecil sekali pemikiranku ini.





Dan saat Spanyol mencetak gol lagi, Kiper Tahiti berbaring tengkurep. Kelihatan sekali dia kecewa. Tapi setelah itu, dia terus tersenyum. Nggak berhenti tersenyum. Aku kayaknya gak bisa kayak dia.
Pemain Tahiti nggak ada yang cemberut. Gak ada! Duh.
Setelah pertandingan selesai, pemian tuker-tukeran baju. Sekali lagi, nggak ada pemain Tahiti yang cemberut. Dan, cengengku pun mulai bertebaran di awing-awang. Apasih. Mungkin itu adalah tangisan terharu. Tahiti mengajarkan bagaimana caranya menerima. Iya. Menerima ini luas artinya.

"Tim inferior sering kali mampu menghidupkan pertandingan dan bisa bermain agresif. Mereka (Tahiti) bermain tanpa harapan (menang). Standar bisa dikesampingkan. Tahiti menunjukkan contoh besar bagaimana bermain sepak bola,

Anda harus berbicara mengenai rasa hormat yang mereka layak dapatkan. Beberapa kali kami menilai tim yang berada di level lebih rendah akan mencoba untuk menggangu permainan, menjadi agresif dan 

Tahiti adalah contoh jelas bahwa mereka ingin bermain sepak bola." 
Kita akan tidak sopan jika menurunkan level bermain kami. Aku adalah seorang penggemar tim ini. Mereka patut ditiru karena telah bermain dengan semangat dan sukacita. Mereka mencoba bermain meski menyadari kekurangan mereka dan tetap tidak kehilangan antusiasme," –Torres


Sudah tentang cengeng yang pertama, kita pindah ke cengeng yang berikutnya.
Karena aku jomblo dan suka nonton short movie di Youtube, aku mulai men-search video Que Sera Sera. Aku tau video ini dari BChannel yang sering sekali menampilkannya. Kayaknya karyawannya emang sengaja buat aku terenyu dan berakhir menangis. Setelah ku replay berkali-kali, aku mulai terkecoh dengan deretan-deretan video di sebelah kanan video yang sedang aku setel. Judulnya ‘touching story’ pokonya. Aku suka banget sama short movie yang sedih-sedih gitu. Bodohnya, itu memacu hormone cengengku. Satu video.. dua.. tiga video, aku belum ada nangis. Aku juga gak berharap nangis sih, karena anggapan yang aku buat sendiri: nangis itu kerjaannya orang yang cengeng.

Dan aku berlabuh [ada sebuah video judulnya “Inspirational – TRY TO WATCH WITHOUT CRYING 99% Fail The Callenge”


Cuma bisa nampilin link. ini kayaknya lagi gangguan, Yutubnya gabisa nemuin apa-apa. Tapi aku selalu nemu jalan ke kamu,kok.... #salahfokus #pergi #nentengsendal

Dari judulnya, hormone adrenalinku meningkat, merasa terancam, aku mulai membukanya. “halah. Aku pasti nggak nangis nonton kayak beginian.”
Aku mulai nangis pas bapaknya nuntun anaknya berjalan setelah kecelekaan, lalu video flashback waktu kecil… aku mati rasa. Ah enggak ding. Butiran-butiran cairan bening dari mataku mulai menyapa pipiku. Tangisanku tidak terlalu heboh, tapi cukup 2 menit saja. Aku hebat.

Lalu, aku berlayar lagi mencari video-video. Berlabuh untuk yang kesekian kalinya pada video “Father’s Love” aku suka banget video-video atau film yang ada nampilin tentang Ayah dan Anaknya. Dan selalu menangis dibuatnya. Seperti:

The Pursuit of Happiness

Warrior. Walaupun ini tentang UCL, tapi ini film sedih saat Bapaknya mengakui kesalahannya , menurutku.

Sedihnya adalah saat Ayahnya Si Pemeran utama bantu nyariin burung hantu deket rumahnya bareng Si Pemeran Utama. Aku lupa siapa nama Si Pemeran Utamanya itu

Ice Age 4
  

Dan teman-temannya. Kentara banget cengengnya.


Dan di video Father’s Love itu, aku udah nangis muali dari awal. Gila, ya? Ah biasa aja,kan? Hmph. Mungkin masih kepancing sama video sebelumnya itu.

Di video ini, tiba-tiba ngingetin aku sama Bapakku yang di rumah yang sekarang sedang terlelap. Aku jadi inget kejadian tanggal 18 kemaren…

Aku udah sangat siap pergi ke SMAN 1 untuk tes IPA dan Bahasa Inggris. Sudah harus, sudah rapi, juga sudah belajar. Saat aku sudah siap, Bapak malah belum mandi. Sebenernya aku mau marah-marah, tapi kulihat lagi jam di tanganku, masih ada waktu beberapa menit.
Saat aku baru naik motor, Bapak udah ngasihtau kalau bensinnya habis. Tapi, masih sanggup berjalan beberapa meter.

Sampai di pertigaan Kenari WaterPark, mesin motor mati. Sudah. Bensin benar-benar habis. Lalu, Bapak menyuruhku untuk jalan, sedangkan bapak mencari penjual bensin eceran di pinggir jalan. Ternyata, pagi yang menyedihkan. Pagi itu toko-toko yang menjual bensin eceran, belum buka. Dengan semangat yang mulai rapuh, aku terus berjalan dengan helm yang masih berada di kepalaku.

Berhentilah Bapak di Dealer Honda. Aku, yang masih jauh di belakang Bapak, tidak mencoba mempercepat langkahku. Aku rasanya mau menangis, mau marah. Tapi tidah bisa. Ada sesuatu yang selalu menahannya.

“Bapak coba ketok pintu rumah yang jualan. Disana itu tadi ada,” ucapku dengan nada yang semakin lama, semakin meninggi.

“Yang mana? Semua tutup. Nggak ada,” Bapak, dengan suaranya yang mulai kelelahan.

“Yaudah kamu naik taksi aja,” tawar Bapak kepadaku yang tidak bisa berhenti menggerakkan kakiku.

“Enggak ada taksi yang mau, Pak! Nggak ada yang mau ke dalam!” air mataku tertahan, menetap di mataku. Aku sedikit mendongakkan kepalaku. Aku juga tidak mau bapak melihatku lemah sepeti itu.

“Ada! Bapak bayar lebih dia mau,”

Lalu aku tetap berjalan, meninggalkan Bapak yang berdiri di samping motor.

“Kok kamu gitu sih, Din?”

Aku tetap berjalan.

Allah masih sayang sama aku dan Bapakku. Allah mengirimkan Mamanya Dilla. Mamanya Dilla yang berada di seberang jalan, sehabis mengantar Dilla yang juga sama-sama tes dan seruangan denganku, mampu melihatku dan bertanya apa yang terjadi. Mamanya Dilla menanyakanku, tetapi bukan aku yang jawab, tetapi Bapak. Bapak sangat mengrti aku yang tidak mau ngomong, yang asanya sudah menciut. 

“yaudah ayok. Aku anter!” Mamanya Dilla menawarkan dengan wajah ibanya.

“Oh iya, makasih, ya!” ucap bapak yang masih mampu tersenyum lebar tanpa beban yang terlihat. Aku berjalan menuju Bapak, menyalimi tangannya, lalu pergi. Aku masih menyesal mengapa tak mengucapkan apa-apa kepada Bapak. Seperti, “Dini pergi, ya, Pak. Bapak hati-hati.” Tapi, walaupun aku tidak mengucapkannya, walaupun aku sempat kehilangan asa, sempat membencinya beberapa saat, tetapi Bapak masih selalu sayang sama Aku tanpa benci. Aku masih anak perempuan kecilnya yang malas mandi dan suka bergadang. Aku masih anak perempuan kecilnya yang belum bisa membanggakannya.


Aku hanya kurang bersyukur





2 komentar: