Hai. Kamu apa kabar? Sudah lama ku pendam pertanyaan itu
untukmu. Walau sederhana, tapi tak pernah sesederhana itu untuk kutanyakan.
Senja masih seperti dulu, walau tanpa percakapan yang selalu
aku tunggu di telepon: jingga.
Dengan gradasi warna merah, oren, jingga, kuning, lalu dia memutih. Mungkin sama halnya
seperti rasamu kepadaku: lama-lama memudar. Sesederhana itu, kan?
Sebenarnya aku juga bisa menghilangkan perasaan ini ke kamu.
Walau kamu nggak pernah tau, sebesar apa. Karena aku punya cara sendiri untuk
menyayangimu. Walau kamu pun tidak akan mengerti.
Aku masih saja menunggu pesanmu. Entah itu saat bangun atau
akan tidur.
Aku masih saja menunggu telponmu, yang selalu membangunkanku
bahkan menyuruhku untuk tidur.
Aku masih saja menunggu sapaan rindumu yang mampu meredam
beberapa rindu milikku.
Aku masih saja menunggu tepukan yang mendarat di pundakku
darimu, yang meyakinkanku bahwa aku tidak pernah sendiri.
Aku masih saja menunggu senyuman yang melukiskan dunia dihiasi
dengan gigi berderet kurang rapi milikmu.
Aku masih saja menunggu ajakan bersepeda bersama.
Aku masih saja menunggu pergi ke toko buku bersama.
Aku masih saja menunggu ajakan mendengarkan radio bersama.
Aku masih saja menunggu tawaran jajan bersama. Darimu. Tentu
saja semua yang kunanti adalah kamu.
Maaf. Aku masih saja terus-terusan menunggu. Karena
sesungguhnya, menghapus kebiasaan itu yang sulit.
Eh. ini bukan untuk siapa-siapa atau apa-apa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar