"I can't breathe without you, but i have to breathe without you.." Taylor Swift – Breathe
Dia pun tak tahu sejak kapan. Yang dia tahu, saat dia
disapa, dia merasa dunia ikut menyapanya. Dan dia tahu, itu salah. Apakah benar
itu salah?
Dia cewek jomblo. Entah apa benar jomblo, karena dia masih
dalam status berpacaran. Sayangnya, dia digantungin sejak 5 bulan lalu. Semenjak
itu, dia mencoba ngelupain semua kenangan yang nggak terlalu banyak.
Awalnya dia menikmati semua. Sudah mulai terbiasa
digantungin. Teman-teman yang mengetahui itu juga sudah melupakannya. Biasanya,
dia bakal ngepost di blog kalo ada hal berkesan…. Dan kalo sempat. Jadi, selama
dia berpacaran sama cowok-tukang-gantung itu, gak ada kesan yang berarti.
Seperti biasa, setiap istirahat sekolah, dia pasti berkumpul
dengan teman-teman dekatnya di meja guru karena kelas mereka di depan lapangan
voli… intinya, mereka suka sekali melihat cowok-cowok bermain bola di lapangan
voli. Iya, sekolah mereka nggak punya lapangan bola. Lapangan bola itu butuh lahan
yang luasnya nggak sempit. Jadi, para cowok yang rela berkeringat untuk
mengeksplor bakat dan hobi, mereka bersedia bermain bola…. Di lapangan voli.
Cowok-cowok itu juga pernah bermain di lapangan basket sekolah, tapi kadang
diusir sama guru ekskul basket karena lapangan itu juga mau dipakai buat main
basket.
Suatu hari, saat matahari sedikit meninggi, entah berapa
derajat, yang jelas matahari sedang meninggi. Menunjukkan bahwa dia ada dan
dibutuhkan. Itu saat jam istirahat kedua. Tak banyak yang pergi menjajahkan
uang jajan di kantin maupun di koperasi sekolah. Dan pada jam itulah, anak
cowok mulai mengoper bola kesana-kemari.
“Itu siapa?” tanya Heina tiba-tiba.
“Itu Azhar. Kenapa? Kamu suka?” Lena meladeni.
“Enggak. Cuma mainnya bagus…. Senyumnya juga manis”
“Ecieeee. Azhar! Katanya Heina senyummu manis!” teriak Lena tiba-tiba kepada
Azhar.
Azhar menoleh dan tersenyum membalas teriakan Lena. Itu
berarti Azhar mendengarnya. Heina salah tingkah dan langsung berlari menuju
tempat duduknya.
Hari Heina kini tidak seperti
biasanya; banyak teman yang menggodanya karena dia menyukai Azhar. Tak sedikit
juga guru menggodanya. Dia menikmati semuanya. Buku hariannya atau yang Heina
sebut binder pun juga mulai terisi. Ya, Heina suka menulis hal-hal menarik di
bindernya dan entah mulai kapan dia benar-benar suka kepada Azhar, hari itu
pula dia mulai bergantung lagi pada bindernya.
Hari itu menjadi hari dimana
kejadian hari itu menjadi yang pertama di bindernya Heina semenjak dia sudah
lelah diberi harapan palsu terus dari kakak kelas. Semenjak Heina sadar dia
hanya dianggap sebagai teman game online, Heina menganggap kakak kelas semua
sama. Sama-sama nggak peduli sama adek kelas. Anggapan yang sederhana, salah
satu ciri Heina yang juga nggak mau terlalu ambil pusing sesuatu. Karena Heina
menganggap jika semua dibuat pusing, dianggap masalah, hal itu akan terus
begitu. Tetapi jika menganggap hal itu adalah berkah maka kita harus
mensyukurinya dan dijalankan dengan senang hati.
21 Oktober 2009
Aku gak tau memulainya
kayak mana. Sudah selama itukah? Aku gak maksud nelantarin kamu kok,Nder. Cuma,
aku gak mau nyakitin kamu dengan menulis hal-hal yang nggak penting. Yah,
walapun selama ini juga gak ada yang penting. Tapi, aku tau kok,Nder, aku tau
kalo kamu nertawain apa yang udah aku tulis. Tenang, aku juga ketawa kok, Nder,
baca tulisanku sendiri. Mungkin aku udah biasa sendiri. Gak nyambung.
Kamu pasti belum kenal. Aku
bakal kenalin kok. Tingginya mungkin dua jengkal di atasku, gaya rambutnya
sering gonta-ganti. Dan dia selalu berhasil membuatku terlena. Warna kulitnya…
dia anak bola. Hh. Terus? Yah, warna kulitnya agak gelapan dari aku. Padahal
aku udah gelap. Gapapa, anak cowok gelap itu gapapa. Aku yang kenapa? Apasih.
Maaf ya,Nder, aku tertatih.
jadi, dia itu satu angkatan sama aku. Kelasnya ada di seberang kanan kelasku. Nggak terlalu jauh buat ngeliatin dia dari kelas. Awalnya emang cuma main-main. Semua nganggepnya cuma main-main. Dan aku gak tau kenapa harus ‘cuma-main-main’ dulu.
maaf,ya,Nder, aku baru cerita sekarang. Ini kejadian tanggal 18. Aku, Lena, Jeni, sama Melda pergi ke kantin cari makan buat bekal bimbel. Semua kelas Sembilan juga begitu. Ada beberapa yang catering, ada juga yang bawa bekal dari rumah atau diantering orangtua. Aku, Lena, Jeni dan Melda gak ikut catering atau bawa bekal atau dianterin. Jadi kita jajan ke kantin. Yah, mungkin ini kebodohan atau keajaiban,Nder. Aku balik ke kelas, anak 3 itu aku tinggal di kantin bersama makananku. Aku masuk kelas dan melepas sepatu untuk mengambil kaos kakiku yang kutinggal di laci meja. Saat aku keluar, aku mencari sepatuku. Sepatuku gak ditempat seharusnya. Setelah capek nyari, aku tanyain temen-temen di kelas. Gak ada yang tau. aku kembali tertatih. Sendirian. Hah.
jadi, dia itu satu angkatan sama aku. Kelasnya ada di seberang kanan kelasku. Nggak terlalu jauh buat ngeliatin dia dari kelas. Awalnya emang cuma main-main. Semua nganggepnya cuma main-main. Dan aku gak tau kenapa harus ‘cuma-main-main’ dulu.
maaf,ya,Nder, aku baru cerita sekarang. Ini kejadian tanggal 18. Aku, Lena, Jeni, sama Melda pergi ke kantin cari makan buat bekal bimbel. Semua kelas Sembilan juga begitu. Ada beberapa yang catering, ada juga yang bawa bekal dari rumah atau diantering orangtua. Aku, Lena, Jeni dan Melda gak ikut catering atau bawa bekal atau dianterin. Jadi kita jajan ke kantin. Yah, mungkin ini kebodohan atau keajaiban,Nder. Aku balik ke kelas, anak 3 itu aku tinggal di kantin bersama makananku. Aku masuk kelas dan melepas sepatu untuk mengambil kaos kakiku yang kutinggal di laci meja. Saat aku keluar, aku mencari sepatuku. Sepatuku gak ditempat seharusnya. Setelah capek nyari, aku tanyain temen-temen di kelas. Gak ada yang tau. aku kembali tertatih. Sendirian. Hah.
“Na!
itunah Azhar di depan!” Ojan muncul dengan suka-cita.
“Hah.
Sepatuku mana? Kamu sembunyiian,yaaaa?” aku bener-bener gak peduli kalo Azhar
di depan.
“Ih
mana ada! Aku panggil,ya?”
“Gakusah.
Apasih?!”
Ojan berlari keluar kelas bersama Sahid. aku tetap fokus nyariin sepatuku dan ingin sekali cepat nyampe kantin.
Ojan berlari keluar kelas bersama Sahid. aku tetap fokus nyariin sepatuku dan ingin sekali cepat nyampe kantin.
“Azhaaaaaaaaarr!!!
Sini dulu!” Ojan teriak-teriak dan gak peduliin sepatuku.
“Azhar!
Heina mau kenalan! Sini cepat!” Sahid juga gak peduli sama sepatuku.
“Azhaaarr!
Heina nunggu ditembak!” aku noleh. Suara yang dihasilkan Eka membuatku terenyu.
Aku gak sekijil itu.
Saat aku menoleh
keluar kelas, Ojan dan Sahid udah sibuk manggilin Azhar.
“Ari!
Bantuin Heina kenalan sama Azhar!” Ojan menyuruh Ari yang baru datang dari
jajan di luar sekolah.
“Mau
diapain?” Ari meladeni ajakan Ojan.
“Tarek!
Bawa ke kelas!” aku gak nyangka Ojan
sejahat ini. Atau Ojan adalah orang yang hampir baik? Hm.
Ojan, Sahid dan Ari berlari ke kelasnya Azhar. Azhar sudah berdiri di depan kelasnya. Aku tau itu bukan mau, tapi lebih ke bingung. Aku gak tau mereka bertiga apain Azhar, pas aku liat pintu kelas, Azhar udah di depan bersama teman kelasnya yang lain. Dan dia udah di dalam kelasku karena didorong sama teman-temannya. Dia sibuk mendobrak mau keluar. Dan aku sibuk melungker karena sakit perut di ujung depan kelas. Azhar gak bisa keluar dan dia mencoba santai. Dia jalan ke panggung kelas, berhenti beberapa detik dan lanjut berjalan mendekatiku. Udah ada Ojan, Sahid, dan Ari di dekatku.
Ojan, Sahid dan Ari berlari ke kelasnya Azhar. Azhar sudah berdiri di depan kelasnya. Aku tau itu bukan mau, tapi lebih ke bingung. Aku gak tau mereka bertiga apain Azhar, pas aku liat pintu kelas, Azhar udah di depan bersama teman kelasnya yang lain. Dan dia udah di dalam kelasku karena didorong sama teman-temannya. Dia sibuk mendobrak mau keluar. Dan aku sibuk melungker karena sakit perut di ujung depan kelas. Azhar gak bisa keluar dan dia mencoba santai. Dia jalan ke panggung kelas, berhenti beberapa detik dan lanjut berjalan mendekatiku. Udah ada Ojan, Sahid, dan Ari di dekatku.
“Itunah
Heina mau kenalan,” Ari memecah kecanggungan.
Azhar Cuma senyum-senyum yah, walaupun dia emang suka senyum, tapi ini beda. Lebih dekat ngeliatnya.
Sahid memaksa Azhar supaya posisinya semakin deket sama aku. Entah, aku gak suka liat Sahid kayak gitu.
Azhar Cuma senyum-senyum yah, walaupun dia emang suka senyum, tapi ini beda. Lebih dekat ngeliatnya.
Sahid memaksa Azhar supaya posisinya semakin deket sama aku. Entah, aku gak suka liat Sahid kayak gitu.
“Apasih,
Hid? Coba jangan maksa! Kasian tunah!” aku tetap memegangi perutku. Semakin
Azhar dekat, perutku semakin sakit.
“Engg,
Zhar.. nggak papa, keluar aja,” kucoba melembutkan suaraku. Pintu kelas emang
udah kebuka, tapi dia nggak keluar.
Aku melihat wajah Azhar memandangi pintu…. Lalu memandangku.. lalu pintu lagi.. lalu Ari. Dia tertatih disini.
Aku melihat wajah Azhar memandangi pintu…. Lalu memandangku.. lalu pintu lagi.. lalu Ari. Dia tertatih disini.
“Nggakpapa,kok,
Zhar. Kalo mau keluar, keluar aja..” tambahku. Itu bukan mengusir, lebih ke arah
peduli karena dia keliatan nggak nyaman di kelasku. Dan… aku udah memikirkan
gimana kalo dia pergi beneran. Karena sebernernya aku gak mau dia pergi..
Lalu Azhar berlari mencoba menggapai pintu. Nggak ada yang hadang. Pintu kelas juga udah kebuka dan nggak ada yang jagain.
Azhar berhenti. Berhenti di panggung kelas. Lalu dia memandang ke sekitarku. Aku masih bisa liat meskipun lagi melungker di bawah meja ditemani Ojan yang lagi berdiri.
Azhar lari lagi. Kali ini dia melawan arus. Ini agak lebay. Bodo amat. Dia lari, kembali ke tempat tadi. Aku nggak mau bilang ‘kembali ke tempatku’ karena dia nggak pernah ‘datang’ hah. Ya, Azhar gak jadi keluar kelas. Azhar sempat berhenti beberapa detik memandang sekitarku dan berlali lagi ke tempat sebelum dia mau keluar. Dekatku.
Lalu Azhar berlari mencoba menggapai pintu. Nggak ada yang hadang. Pintu kelas juga udah kebuka dan nggak ada yang jagain.
Azhar berhenti. Berhenti di panggung kelas. Lalu dia memandang ke sekitarku. Aku masih bisa liat meskipun lagi melungker di bawah meja ditemani Ojan yang lagi berdiri.
Azhar lari lagi. Kali ini dia melawan arus. Ini agak lebay. Bodo amat. Dia lari, kembali ke tempat tadi. Aku nggak mau bilang ‘kembali ke tempatku’ karena dia nggak pernah ‘datang’ hah. Ya, Azhar gak jadi keluar kelas. Azhar sempat berhenti beberapa detik memandang sekitarku dan berlali lagi ke tempat sebelum dia mau keluar. Dekatku.
Karena kelas gak sepi,
temen-temen jadi ada tontonan sambil
makan siang. Pas Azhar nggak jadi keluar, temen-temen pada cie-in. Aku makin
sakit perut.
“Sakit
peroooooooooot!!” aku udah nggak tahan sama perutku ini yang gak bisa diajak
senang.
Ya, aku senang.
Ya, aku senang.
Azhar kembali dengan sejuta
harapan..
Azhar menjulurkan tangannya. Aku ingin sekali menyapa tangannnya. Hh. Gak. Aku gak kekijilan.
Kalo aku nerima juluran tangannya Azhar, aku kijil. Tapi aku bakal seneng.
Kalo aku gak nerima juluran tangannya Azhar, kasian dia. Dan aku akan menyesal sepanjang
hari.
Azhar menjulurkan tangannya. Aku ingin sekali menyapa tangannnya. Hh. Gak. Aku gak kekijilan.
Kalo aku nerima juluran tangannya Azhar, aku kijil. Tapi aku bakal seneng.
Kalo aku gak nerima juluran tangannya Azhar, kasian dia. Dan aku akan menyesal sepanjang
hari.
“Aduuh.. Gimana ini,
Ri?” tiba-tiba Azhar melontarkan pertanyaan ke Ari sambil senyum-senyum. Ari
diam aja. Aku tetep nggak bisa diam mengurusi sakit perutku.
Maksud dia nanya kayak
gitu apa?
1. Aduh, Ri. Nggak mau nah aku. Aku mau keluar!
2. Aduh, Ri. Kenapa aku dipaksa masuk trus kenalan sama dia?
3. Aduh, Ri. Aku mau keluaaaaaaaaaaaaaarrrr!!!
4. Aduh, Ri. Gimana ini? Dia nggak mau diajak kenalan…
1. Aduh, Ri. Nggak mau nah aku. Aku mau keluar!
2. Aduh, Ri. Kenapa aku dipaksa masuk trus kenalan sama dia?
3. Aduh, Ri. Aku mau keluaaaaaaaaaaaaaarrrr!!!
4. Aduh, Ri. Gimana ini? Dia nggak mau diajak kenalan…
Kamu tau. Semua tau.
Aku juga tau. yang nomor 4 itu hanya ilusi.
Dan… sudah, Nder. Aku
mau ngelanjutin tugas Sejarah merangkum. Kasitau Azhar, ya.. kalo dia juga
dikasih tugas sama dan belum ngerjain, dia bisa minjem punyaku. Yaudah.
***
Semenjak aku datang ke kelasnya secara paksa oleh temannya,
aku merasa ada yang berubah. Semua berubah. Dulu, setiap istirahat atau
pelajaran lagi kosong, aku sering bermain di luar kelas. Tapi, semenjak
kejadian itu, aku lebih memilih diam di kelas, mempelajari materi yang belum
kumengerti. Mungkin bukan terganggu atau risih, tapi lebih ke belum terbiasa.
Ya, hidupku emang biasa aja. Dan sekarang, setiap aku lewat dan berpapasan
dengan teman-temannya, aku selalu dipanggilin. Terkadang, jika aku tidak
menjawab, temannya akan marah-marah.
“Mati aja kamu,Zhar!”
Itu adalah kaliamat yang terlontar dari temannya kalo dia udah capek manggilin
aku dan aku nggak noleh. setelah dia berbicara seperti itu, aku akan menoleh
dan tersenyum kepadanya dan dia mengucapkan kalimat itu lagi, “Mati aja
kamu,Zhaaarrr!!!” sambil tertawa.
Ya, semua berbeda.
Teman kelas
juga banyak yang menggodaku. Awalnya, setiap mereka menggodaku, aku bilang,
“Enggak. Dia cuma main-main,” dan memang itu yang aku tahu, dia cuma main-main.
Main-main suka sama aku. Masa iya langsung suka karena cuma senyum?
Sekarang, yang
aku tahu dari teman kelasku, Heina nggak main-main. Hm. Biar aku jelaskan.
Awalnya Heina cuma main-main, tetapi waktu merubah seseorang. Lebih tepatnya
semua orang. Ya, katanya, Heina tidak main-main. Dan aku mencoba menikmati
semuanya.
Bersambung…...
Aku terharu. *garuk tembok*
BalasHapusTapi aku nggak tau siapa Ojan, Sahid, Ari, Jeni, Melda bang. Masih misteri.
Aku menunggu cerita selanjutnyaaa yey yey
Aku tau ini masih belepotan,Alia.
HapusDiam kamya. Ini akan menjadi rahasia........untuk waktu yang lama *suara mbak-mbak host intens*
Nggak kok, udah bagus *kasih jempol* *sama kasih Alip*
HapusAku akan menunggu hingga rahasia itu terungkap menjadi... fakta jengjengjengjeng
Aaaamiiin.makasih,Alia*kasih huddin**huddin nolak**pergi*
BalasHapusYah,ALia.udah nunggu huddin,nunggu yang beginian lagi. haft:'(