Pekerjaan yang selesai lebih cepat dari biasanya, membuat
Milan diizinkan pulang lebih cepat. Milan memilih cepat-cepat pulang dan
berbaring di kasur kesayangannya itu.
Milan sedang berdiri di antara orang-orang setengah baya yang
duduk berjejer di halte saat hujan menghampiri semua orang seraya mengucapkan
“Heyy!! Berhenti di tempat! Aku akan menemanimu hingga awan mampu menghentikan
kesedihannya!”
Mata Milan berkeliaran melihat orang-orang yang sibuk mencari
tempat berteduh sambil mengira-ngira kapankah hujan sendu ini akan berhenti.
Mata Milan berhenti pada objek yang hitam dan panjang. Milan pun tak tahu,
dimana objek besar itu berujung. Sama seperti cintaku padamu, Ibu, tak
berujung.
“Kasihan,ya,dia. Tiap hari dilindas
oleh ribuan roda-roda besar yang warnanya juga sama seperti dirinya. Tapi
mengapa warnanya semakin hari, semakin memudar? Bukankan objek yang melindasnya
memiliki warna yang sama dengannya? Hmmm, mungkin karena cuaca yang merubahnya.
Oh iya, pasir dan polusi juga bisa dicurugai. Sudahlah, walalupun warnanya tak
sama lagi, tetapi dia masih bisa menampung beban berat setiap harinya tanpa
mengeluh. Bisakah kau bayangkan, bagaimana jika dia bisa berbicara? Layaknya
manusia? Pasti dia akan mengeluh tiada henti. Atau dia hanya akan diam,
tertidur untuk waktu yang lama hanya untuk bermimpi dalam setiap detik
kehidupan nyata, atau bahkan selamanya. Atau dia akan tersenyum setiap harinya
diatas kesesakan yang menemaninya. Ah sudahlah, bersyukurlah karena dia
diciptakan untuk tidak berbicara. Kenapa bisnya gak dating-dateng?!!”
Bis yang Milan nanti-nanti kedatangannya telah menunjukkan
jendela kacanya yang sedang menyinyir Milan, “emang enak nunggu lama?!!! Dingin
pula!” Milan tidak peduli dengan perkataan bis yang tidak pengertian itu, dia
berlari beberapa langkah untuk mencapai tangga bis. Dengan memegang lengan
bajunya, sedikir meremas, Milan fikir akan sedikit membantu mengurangi dingin
sore ini. Mata Milan menelusuri bangku bis yang ingin menyapanya dengan
suka-cita.
Ternyata, bis ini memang tercipta bukan untuk Milan. Tak ada
lagi bangku yang tersinya untuk badan mungil milik wanita 26 tahun itu.
walaupun jilbab sedikit membantu menutup kepalanya dari guyuran hujan, Milan
tetaplah wanita yang jika kepalanya sudah dijatuhi oleh air hujan, akan merasa
pening, bahkan bisa dua hari pening itu akan menemaninya. Itu adalah salah satu
dari rentetan kebencian Milan kepada hujan.
Tangan Milan tak sampai untuk memegang pegangan di
langit-langit bis, menyedihkan sekali hari Milan. “Mbak, ini duduk sini aja,
biar saya berdiri,” kalimat yang sedaritadi Milan tunggu, akhirnya sampai di
telinganya dengan mulus.
Saat Milan menoleh ke belakang, tepat pada arah datangnya
suara lelaki tadi dengan penawarannya yang sedang menyunggingkan senyuman menawan
juga kepada….. WAIT! WHAT?!!!
HAAAAAAAAAAAAA!!!!
Bunga seroja yang tadinya akan datang entah darimana
berjatuhan di sekeliling Milan, ternyata menolak, memutar haluan, dan memilih tidur
di pelupuk mata Sang Pelangi.
Lelaki yang seperti itu hanya ada satu di bis itu,
meluncurkan penawarannya kepada wanita yang posisinya tepat di belakang Milan,
tepat juga di sebelah kiri lelaki pemilik senyuman lebar dan seharusnya
menghangatkan itu.
Hujan belum benar-benar berhenti. Bis berhenti di halte dekat
kosan Milan dihiasi dengan mendadaknya sang supir menginjak rem, menyebabkan
badan Milan terdorong ke depan, menubruk punggung tegap seorang lelaki yang
tingginya tiga hampir empat jengkal diatasnya, dan beberapa detik setelahnya,
badan Milan tertarik mundur, tetapi belum kembali di tempatnya semula. Milan
buru-buru turun dari bis tanpa mempedulikan lelaki yang dia seruduk dari
belakang tadi.
Milan berlari menuju gang kosannya secepat yang ia bisa. Saat
sampai di depan pintu, Milan merogoh tasnya, mencari kunci dengan gantungan
bola pingpong oren sungguhan. “He? Aku taruh mana,ya?” pertanyaan yang
dilontarkan kepada dirinya sendiri itu berakhir menggantung di udara. Milan mencari
di kotak makan siangnya. Alih-alih mendapatkan kunci kosannya, Milan malah
merasa lapar. Kedinginan dan kelaparan dan nggak bisa masuk kos dan pening luar
biasa dan jomblo…
Milan berlari ke rumah Ibu kos untuk meminta kunci cadangan.
Sebelum Ibu kos menyerahkan benda berharga itu, Milan kembali dihujani dengan
pertanyaan dan omelan Ibu kos. “hih.
Harusnya Ibu kos ngertiin aku. Aku lemah dan tertatih,Bu,” curahan hati
Milan yang diam diangan-angan. “Hm.
Mungkin aku harus ngertiin Ibu kos dulu biar aku dingertiin juga. Gitukan?
Mengerti kalo mau dimengerti. Huft.”
Milan kembali berlari menuju kosnya yang besarnya tidak
seberapa. Dengan wajah lelah, Milan mengambil Pop Mie untuk mengurangi rada
lapar juga dingin yang menggeluyutinya. Tanpa membuang wadahnya, Milan langsung
merebahkan tubuhnya di kasur yang bercover Marsupilaminya. Walaupun hanya 45
menit sebelum maghrib tiba, Milan menyempatkan mengistirahatkan jiwa dan
raganya sambil memutar timer mesin cuci yang terletak di dapur.
Setelah Milan selesai mencuci pakaiannya, Milan memilih
berlabuh di café depan gangnya. Milan menggembok sepedanya. Walaupun di daerah
itu tidak terlalu ramai dan tidak pernah ada berita pencurian, tetapi Milan
tetapi antisipasi. Sepeda itu adalah pemberian Ibu Milan saat ulangtahunnya
pada bulan November, 4 tahun lalu, tepat 7 bulan setelahnya, Ibunya Milan meninggal
karena ditabrak motor besar saat perjalanan pulang dari pasar hanya dengan
mengendarai sepeda. Ibu Milan sangat suka dengan sepeda. Ibu Milan memiliki 4
sepeda di garasi rumah yang disimpan di dekat mobil. Masing-masing sepeda
memiliki tugas tersendiri. Seperti yang dipakai oleh Ibunya saat ke pasar,
adalah sepeda dengan keranjang yang letaknya di depan dan di belakang. Dan
hampir semua sepeda sudah di modofikasi sedemikian rupa tetapi tetap dengan
penampilan sederhana. Itulah mengapa Milan juga suka berpergian mengendarai
sepedanya dan memilih motornya tetap di halaman kosnya.
Bau kopi yang menyeruak berlomba masuk ke hidung Milan.
Sebenarnya café ini memiliki menu yang tak hanya kopi, tetapi kebanyakan
pengunjung yang datang adalah coffeholic. Dan Milan memiliki selera biasa saja
dengan kopi, Milan menyukai aromanya yang sudah mampu membelakkan matanya.
Milan berjalan menebarkan pandangannya ke seisi café. Walaupun Milan sudah
sering datang, tetapi suasana dan tatanan hiasan selalu mampu menarik
perhatiannya.
Milan menetapkan duduk dekat jendela, pojok ruangan yang agak
redup. Ditemani dua gelas milo hangat, Milan memainkan gadgednya. Alasan selain
Milan suka milo disini adalah free Wi-Fi yang memanjakan seluruh pengunjung.
Saat Milan sedang asik mendownload lagu-lagu baru The Script, tiba-tiba suara
lelaki membuyarkan keasikannya.
“Boleh saya duduk disini?” tanya lelaki asing itu.
“Eh? I-iya, silahkan, Mas,” jawab Milan dengan perasaan
terkejutnya yang masih tersisa. Milan menatap lelaki itu bingung. Milan merasa
pernah melihat lelaki ini. Tapi dimana?
“Enggg, Mas, kita udah pernah ketemu, belum? Kok muka masnya
ngingetin sama orang entah lupa dimana,” celetuk Milan penasaran.
“Ahaha. Saya yang tadi sore di bis yang mbak seruduk dari
belakang itu,” jelas lelaki itu dengan senyuman lebarnya. Tak kalah lebar
dengan senyuman lelaki di bis yang menawarkan tempat duduk kepada wanita yang
lebih menarik darinya. Iyalah, wanita itukan memakai celana yang panjangnya
jauh diatas lutut dan badannya dibalut baju you-can-see. Yah, wajar juga sih
ditawarin, pasti wanita itu juga kedinginan. Sangat.
“Oalaaaah. Maaf ya, mas, tadi itu gak sengaja, gak sempet
minta maaf juga karena udah merasa sial dan malu banget hari ini.”
“Iya, gapapa. Santai aja. Oh iya, aku Uka,” lelaki itu
memperkenalkan dirinya sembari menjulurkan tangannya.
“ Uka-uka? Ahahaha. Aku Milan,” canda Milan menghangatkan
suasana yang agak canggung itu.
“Uka doang. Yang kasih nama kamu pasti suka klub bola AC
Milan atau Inter Milan atau apalah yang ada Milannya, yakan?”
“Namanya gak semengerikan orangnya, kok. Ahaha. Ayahku yang
kasih nama karena ibuku seorang Milanisti, Ka. Terus nama kamu darimana
asalnya?”
“Iya, dooong. Tuhkan. Sebenarnya namaku itu Dika, tapi kata
Mama waktu aku kecil kata pertama yang aku ucapkan adalah ‘uka’, jadilah nama
orang-orang manggil aku Uka,” jelas Uka dengan senyuman yang tak pernah hilang
disana, di wajahnya.
“Oooh, Dika yang tertunda. Kamu sering datang ke sini?”
“Tiap hari malah. Kamu pasti datangnya setiap malam
Sabtu,kan?”
“Ngapain tiap hari kesini? Kerja disini kamunya? Hiii kok
tau? horor. Kosan aku deket dari sini, milo disini juga enak.”
“Ayahku sama aku yang punya mengelola café ini, Lan. Makanya
aku ada tiap hari. Dan pelanggan yang selalu datang sendirian yang selalu milih
tempat pojokan redup kayak gini,ya cuma kamu, Lan. Kosan kamu masuk gang
situ,ya?”
“Oalah. Jadi kalo aku kesini bisa gratis, dong, ya? Kesini
kan lebih enak sendiri. Tempatnya rekomen banget buat merenung gitu.Iya, gang
situ,” tangan Milan terjulur menunjukkan gang masuk kosnya yang berada di
seberang café.
“Kalo tiap kesini kamu mau ngobrol sama aku, kamu boleh gak
bayar, deh,ahahaha. Emang kamu ngerenungin apa aja?”
“Beneran, Ka? Ini pasti hanya ilusi belaka. Banyak, Ka.
Kadang kalo gini jadi kangen sama Ibu, bayangin ibu lagi ngapain disana…”
“Beneran, Lan. Yaa tinggal telpon aja kalo kangen, Lan.”
“Iya kalo bisa sesimple itu, bisa nelpon atau bahkan
videocall. Kalo bisa, Ka.”
“Emang kenapa?” pertanyaan Uka dibanrengi dengan meluncurnya
air dari langit yang daritadi sore lagi galau.
“Ibu aku udah nggak ada, Ka. Kangeeen banget sama milo buatan
Ibu. Setiap aku bikin milo, rasanya pasti nggak pernah pas. Makanya aku suka
kesini. Milo disini rasanya gak beda jauh sama buatan ibu. Mungkin bodoh,Ka,
sebenarnya kan milo itu tinggal seduh aja, dimana-mana kan gitu. Tapi gak tau
kenapa buatan Ibu itu selalu terasa luar biasa, Ka,” ungkap Milan dengan
matanya yang sedang berusaha keras agar ait matanya tidak jatuh di pipinya.
“Maaf, ya, Lan, turut berduka. Berdoa terus buat Ibu
kamu,Lan, ngebantu ngurangin rasa rindu,kok. Iya,buatan Ibu emang selalu terasa
beda. Aku juga rindu oseng tahu buatan mamaku.”
“Gapapa, Ka, udah lama juga, kok. Iya, Ka, selalu. Dan rasa
rindu itu terasa semakin menumpuk. Tapi mama kamu masih ada, kan? Kamu masih
bisa memintanya, Ka.”
“Iya, Lan, masih ada. Iya, masih bisa minta juga, tapi aku
nggak bakal diladenin apa lagi dibuatin, Lan. Ibu aku gila karena jatuh dari
tangga, Alhamdulillah nggak meninggal, tapi ada gangguan saraf dan udah hampir
3 tahun di RSJ, Lan,” cerita Uka yang maish bisa tersenyum. Milan tahu, Uka
menyembunyikan segala rasa rindunya yang semakin sesak.
“Maaf, ya, Ka. Kamu masih sering datangin mama kamu, kan?”
“Iya, Lan, gapapa. Café ini kami dedikasikan buat mama.
Karena mama suka banget pergi ke café. Iya, seminggu sekali aku kesana. Hari
Minggu aku mau kesana. Mau ikut? Eh iya, itupun kalo kamu nggak sibuk.”
“Hoo, gitu. Ayah kamu sayang banget, ya, sama Mama kamu..
Ayah aku nggak sayang sama Ibu aku. Dua tahun setelah Ibu meninggal, Ayah aku
nikah lagi. Menyedihkan,kan? Hmm, Minggu,ya? Nanti aku kabarin deh kalo nggak
ada tugas kantor.”
“Gaboleh ngomong gitu. Ayah kamu juga pasti sayang sama Ibu
kamu, Lan. Mungkin Ayah kamu butuh penyemangat. Lagi pula siapa yang ngurus
Ayahmu kalau kamu aja jauh dari Ayahmu?”
“Ayah kamu aja masih semangat tanpa Mama kamu. harusnya
Ayahku bisa setegar seperti Ayahmu, sesetia Ayahmu, Ka. Menyedihkan.”
“Setiap Ayah punya caranya sendiri-sendiri untuk sayang dan
setia terhadap anak dan istrinya, Lan.”
“Hmm. yaudah deh. Cukup ngomongin yang sedih-sedih. Udah jam
11, Ka. Hujannya juga udah berhenti. Aku mau pulang,” ucap Milan sambil
memasukkan gadgednya ke dalam sakunya.
“Oh iya, udah malam banget ternyata. Nih, Lan kartu nama aku,
disitu ada nomer hapeku, konfirmasi ya kalo kamunya bisa ikut menjenguk
Mamaku,” Uka memberikan selembar kertas putih berbentuk persegi panjang.
“Oh iya, okesip. Aku pulang dulu, ya, Lan. Makasih udah mau
dengerin curhatan dan beberapa penyataan atau pertanyaan konyol,” Milan
mengembangkan senyumnya sambil berdiri dari tempat duduknya.
“Iya, anytime, Lan. Makasih juga udah dengerin curhatanku.
Cuma kamu lho orang asing yang cepet banget aku akrabnya,” senyuman itu, kembali
terlukis di wajah lelaki itu.
“Kembali kasih, Uka-uka! Ahaha iya sama, sebenernya aku nggak
terlalu suka ngobrol banyak sama orang asing.”
“Tapi aku bukan orang asing lagi, kan?” tanya Uka sambil
berjalan di sebelah kanan Milan menuju parkiran sepeda.
“Traktir milo dulu, baru deh bukan orang asing! Hahahaha,”
canda Milan yang sudah duduk di sepedanya.
“Minggu, deh! Yaa kalo kamu gak sibuk…”
“Untuk milo selalu ada waktu!! Yaudah, Ka, aku pulang, ya?”
“Ahahaha. Iya. Daritadi kita ngomong terus. Hati-hati,ya!!
Daaaaaah.”
“Okesip. Daaaaaaahh,” Milan melambaikan tangan kanannya.
Saat Milan sampai di seberang jalan dan memasuki gapura
gangnya, tiba-tiba Uka berteriak dan berlari mengejar Milan untuk mengembalikan
kunci kosan milik Milan yang terjatuh di bis saat dia tak sengaja menyeruduk
Uka. Uka baru sadar saat sudah sampai di rumahnya saat dia membuka sepatunya,
dia menemukan kunci dengan gantungan bola pingpong oren. Sepatu yang dibelikan
Ayahnya beberapa hari lalu memang kebesaran untuk kaki Uka. Dan yang Uka
pikirkan saat menemukan kunci itu di sepatunya adalah wanita di bis kota tadi
yang tak sengaja menabraknya dari belakang. Uka tahu karena saat dia masuk bis,
dia melihat wanita itu berdiri memegang kunci itu dan tidak memegang pegangan
di langit-langit bis karena dia tak sanggup menggapainya.
Tak sampai seberang,
karena Uka terburu-buru, Uka tak sempat melihat keadaan sekeliling sebelum
menyeberang. Bruukkkk. Badan Uka
terlempar beberapa meter dari tempat dia tertabrak. Mobil Jeep yang bertubuh
besar dengan plat Yogyakarta itu langsung melarikan diri.
Milan mambanting ke kanan sepedanya, tak peduli akan merusak
bagian apa saja. Dia berlari ke tempat Uka terbaring lemah dengan kepala
terbentur pembatas jalan yang sudah berlumuran darah. Semua karyawan dan
orang-orang yang ada disekitar tempat kejadian berbondong-bondong melihat
keadaan Uka.
Uka dibawa ke rumah sakit dengan mobil Ayahnya. Ayahnya tak
kuat melihat keadaan Uka dan memilih menetap di café bersama 4 karyawan yang
tersisa.
We are young, we are free
Stay up late, we don’t sleep
Got our friends, got the night, We’ll
be alright
Alarm yang cukup keras yang mendendangkan lagu We’ll Be
Alright dari Travie McCoy membangunkan tidur panjang Milan yang kelelahan
satelah mencuci pakaian yang menumpuk selama 5 hari itu.
“Haaaaa. Cuma mimpi!!!”
Milan bersiap berangkat kerja tepat pukul 7.30. Milan berjalan
ke halte melewati café depan gangnya. Dan tak disangka, Milan menemukan sosok ‘Uka’
di dalam café tersebut. “Entah ini benar apa salah, nanti malam aku akan
mendatangimu untuk meminta kunciku!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar