Cari Blog Ini

Selasa, 07 Mei 2013

Cerita Menyedihkan Bersayap Merah Jambu


Pekerjaan yang selesai lebih cepat dari biasanya, membuat Milan diizinkan pulang lebih cepat. Milan memilih cepat-cepat pulang dan berbaring di kasur kesayangannya itu.
Milan sedang berdiri di antara orang-orang setengah baya yang duduk berjejer di halte saat hujan menghampiri semua orang seraya mengucapkan “Heyy!! Berhenti di tempat! Aku akan menemanimu hingga awan mampu menghentikan kesedihannya!”
Mata Milan berkeliaran melihat orang-orang yang sibuk mencari tempat berteduh sambil mengira-ngira kapankah hujan sendu ini akan berhenti. Mata Milan berhenti pada objek yang hitam dan panjang. Milan pun tak tahu, dimana objek besar itu berujung. Sama seperti cintaku padamu, Ibu, tak berujung.
“Kasihan,ya,dia. Tiap hari dilindas oleh ribuan roda-roda besar yang warnanya juga sama seperti dirinya. Tapi mengapa warnanya semakin hari, semakin memudar? Bukankan objek yang melindasnya memiliki warna yang sama dengannya? Hmmm, mungkin karena cuaca yang merubahnya. Oh iya, pasir dan polusi juga bisa dicurugai. Sudahlah, walalupun warnanya tak sama lagi, tetapi dia masih bisa menampung beban berat setiap harinya tanpa mengeluh. Bisakah kau bayangkan, bagaimana jika dia bisa berbicara? Layaknya manusia? Pasti dia akan mengeluh tiada henti. Atau dia hanya akan diam, tertidur untuk waktu yang lama hanya untuk bermimpi dalam setiap detik kehidupan nyata, atau bahkan selamanya. Atau dia akan tersenyum setiap harinya diatas kesesakan yang menemaninya. Ah sudahlah, bersyukurlah karena dia diciptakan untuk tidak berbicara. Kenapa bisnya gak dating-dateng?!!”
Bis yang Milan nanti-nanti kedatangannya telah menunjukkan jendela kacanya yang sedang menyinyir Milan, “emang enak nunggu lama?!!! Dingin pula!” Milan tidak peduli dengan perkataan bis yang tidak pengertian itu, dia berlari beberapa langkah untuk mencapai tangga bis. Dengan memegang lengan bajunya, sedikir meremas, Milan fikir akan sedikit membantu mengurangi dingin sore ini. Mata Milan menelusuri bangku bis yang ingin menyapanya dengan suka-cita.
Ternyata, bis ini memang tercipta bukan untuk Milan. Tak ada lagi bangku yang tersinya untuk badan mungil milik wanita 26 tahun itu. walaupun jilbab sedikit membantu menutup kepalanya dari guyuran hujan, Milan tetaplah wanita yang jika kepalanya sudah dijatuhi oleh air hujan, akan merasa pening, bahkan bisa dua hari pening itu akan menemaninya. Itu adalah salah satu dari rentetan kebencian Milan kepada hujan.
Tangan Milan tak sampai untuk memegang pegangan di langit-langit bis, menyedihkan sekali hari Milan. “Mbak, ini duduk sini aja, biar saya berdiri,” kalimat yang sedaritadi Milan tunggu, akhirnya sampai di telinganya dengan mulus.
Saat Milan menoleh ke belakang, tepat pada arah datangnya suara lelaki tadi dengan penawarannya yang sedang menyunggingkan senyuman menawan juga kepada….. WAIT! WHAT?!!! HAAAAAAAAAAAAA!!!!
Bunga seroja yang tadinya akan datang entah darimana berjatuhan di sekeliling Milan, ternyata menolak, memutar haluan, dan memilih tidur di pelupuk mata Sang Pelangi.
Lelaki yang seperti itu hanya ada satu di bis itu, meluncurkan penawarannya kepada wanita yang posisinya tepat di belakang Milan, tepat juga di sebelah kiri lelaki pemilik senyuman lebar dan seharusnya menghangatkan itu.
Hujan belum benar-benar berhenti. Bis berhenti di halte dekat kosan Milan dihiasi dengan mendadaknya sang supir menginjak rem, menyebabkan badan Milan terdorong ke depan, menubruk punggung tegap seorang lelaki yang tingginya tiga hampir empat jengkal diatasnya, dan beberapa detik setelahnya, badan Milan tertarik mundur, tetapi belum kembali di tempatnya semula. Milan buru-buru turun dari bis tanpa mempedulikan lelaki yang dia seruduk dari belakang tadi.
Milan berlari menuju gang kosannya secepat yang ia bisa. Saat sampai di depan pintu, Milan merogoh tasnya, mencari kunci dengan gantungan bola pingpong oren sungguhan. “He? Aku taruh mana,ya?” pertanyaan yang dilontarkan kepada dirinya sendiri itu berakhir menggantung di udara. Milan mencari di kotak makan siangnya. Alih-alih mendapatkan kunci kosannya, Milan malah merasa lapar. Kedinginan dan kelaparan dan nggak bisa masuk kos dan pening luar biasa dan jomblo…
Milan berlari ke rumah Ibu kos untuk meminta kunci cadangan. Sebelum Ibu kos menyerahkan benda berharga itu, Milan kembali dihujani dengan pertanyaan dan omelan Ibu kos. “hih. Harusnya Ibu kos ngertiin aku. Aku lemah dan tertatih,Bu,” curahan hati Milan yang diam diangan-angan. “Hm. Mungkin aku harus ngertiin Ibu kos dulu biar aku dingertiin juga. Gitukan? Mengerti kalo mau dimengerti. Huft.”
Milan kembali berlari menuju kosnya yang besarnya tidak seberapa. Dengan wajah lelah, Milan mengambil Pop Mie untuk mengurangi rada lapar juga dingin yang menggeluyutinya. Tanpa membuang wadahnya, Milan langsung merebahkan tubuhnya di kasur yang bercover Marsupilaminya. Walaupun hanya 45 menit sebelum maghrib tiba, Milan menyempatkan mengistirahatkan jiwa dan raganya sambil memutar timer mesin cuci yang terletak di dapur.
Setelah Milan selesai mencuci pakaiannya, Milan memilih berlabuh di café depan gangnya. Milan menggembok sepedanya. Walaupun di daerah itu tidak terlalu ramai dan tidak pernah ada berita pencurian, tetapi Milan tetapi antisipasi. Sepeda itu adalah pemberian Ibu Milan saat ulangtahunnya pada bulan November, 4 tahun lalu, tepat 7 bulan setelahnya, Ibunya Milan meninggal karena ditabrak motor besar saat perjalanan pulang dari pasar hanya dengan mengendarai sepeda. Ibu Milan sangat suka dengan sepeda. Ibu Milan memiliki 4 sepeda di garasi rumah yang disimpan di dekat mobil. Masing-masing sepeda memiliki tugas tersendiri. Seperti yang dipakai oleh Ibunya saat ke pasar, adalah sepeda dengan keranjang yang letaknya di depan dan di belakang. Dan hampir semua sepeda sudah di modofikasi sedemikian rupa tetapi tetap dengan penampilan sederhana. Itulah mengapa Milan juga suka berpergian mengendarai sepedanya dan memilih motornya tetap di halaman kosnya.
Bau kopi yang menyeruak berlomba masuk ke hidung Milan. Sebenarnya café ini memiliki menu yang tak hanya kopi, tetapi kebanyakan pengunjung yang datang adalah coffeholic. Dan Milan memiliki selera biasa saja dengan kopi, Milan menyukai aromanya yang sudah mampu membelakkan matanya. Milan berjalan menebarkan pandangannya ke seisi café. Walaupun Milan sudah sering datang, tetapi suasana dan tatanan hiasan selalu mampu menarik perhatiannya.
Milan menetapkan duduk dekat jendela, pojok ruangan yang agak redup. Ditemani dua gelas milo hangat, Milan memainkan gadgednya. Alasan selain Milan suka milo disini adalah free Wi-Fi yang memanjakan seluruh pengunjung. Saat Milan sedang asik mendownload lagu-lagu baru The Script, tiba-tiba suara lelaki membuyarkan keasikannya.
“Boleh saya duduk disini?” tanya lelaki asing itu.
“Eh? I-iya, silahkan, Mas,” jawab Milan dengan perasaan terkejutnya yang masih tersisa. Milan menatap lelaki itu bingung. Milan merasa pernah melihat lelaki ini. Tapi dimana?
“Enggg, Mas, kita udah pernah ketemu, belum? Kok muka masnya ngingetin sama orang entah lupa dimana,” celetuk Milan penasaran.
“Ahaha. Saya yang tadi sore di bis yang mbak seruduk dari belakang itu,” jelas lelaki itu dengan senyuman lebarnya. Tak kalah lebar dengan senyuman lelaki di bis yang menawarkan tempat duduk kepada wanita yang lebih menarik darinya. Iyalah, wanita itukan memakai celana yang panjangnya jauh diatas lutut dan badannya dibalut baju you-can-see. Yah, wajar juga sih ditawarin, pasti wanita itu juga kedinginan. Sangat.
“Oalaaaah. Maaf ya, mas, tadi itu gak sengaja, gak sempet minta maaf juga karena udah merasa sial dan malu banget hari ini.”
“Iya, gapapa. Santai aja. Oh iya, aku Uka,” lelaki itu memperkenalkan dirinya sembari menjulurkan tangannya.
“ Uka-uka? Ahahaha. Aku Milan,” canda Milan menghangatkan suasana yang agak canggung itu.
“Uka doang. Yang kasih nama kamu pasti suka klub bola AC Milan atau Inter Milan atau apalah yang ada Milannya, yakan?”
“Namanya gak semengerikan orangnya, kok. Ahaha. Ayahku yang kasih nama karena ibuku seorang Milanisti, Ka. Terus nama kamu darimana asalnya?”
“Iya, dooong. Tuhkan. Sebenarnya namaku itu Dika, tapi kata Mama waktu aku kecil kata pertama yang aku ucapkan adalah ‘uka’, jadilah nama orang-orang manggil aku Uka,” jelas Uka dengan senyuman yang tak pernah hilang disana, di wajahnya.
“Oooh, Dika yang tertunda. Kamu sering datang ke sini?”
“Tiap hari malah. Kamu pasti datangnya setiap malam Sabtu,kan?”
“Ngapain tiap hari kesini? Kerja disini kamunya? Hiii kok tau? horor. Kosan aku deket dari sini, milo disini juga enak.”
“Ayahku sama aku yang punya mengelola café ini, Lan. Makanya aku ada tiap hari. Dan pelanggan yang selalu datang sendirian yang selalu milih tempat pojokan redup kayak gini,ya cuma kamu, Lan. Kosan kamu masuk gang situ,ya?”
“Oalah. Jadi kalo aku kesini bisa gratis, dong, ya? Kesini kan lebih enak sendiri. Tempatnya rekomen banget buat merenung gitu.Iya, gang situ,” tangan Milan terjulur menunjukkan gang masuk kosnya yang berada di seberang café.
“Kalo tiap kesini kamu mau ngobrol sama aku, kamu boleh gak bayar, deh,ahahaha. Emang kamu ngerenungin apa aja?”
“Beneran, Ka? Ini pasti hanya ilusi belaka. Banyak, Ka. Kadang kalo gini jadi kangen sama Ibu, bayangin ibu lagi ngapain disana…”
“Beneran, Lan. Yaa tinggal telpon aja kalo kangen, Lan.”
“Iya kalo bisa sesimple itu, bisa nelpon atau bahkan videocall. Kalo bisa, Ka.”
“Emang kenapa?” pertanyaan Uka dibanrengi dengan meluncurnya air dari langit yang daritadi sore lagi galau.
“Ibu aku udah nggak ada, Ka. Kangeeen banget sama milo buatan Ibu. Setiap aku bikin milo, rasanya pasti nggak pernah pas. Makanya aku suka kesini. Milo disini rasanya gak beda jauh sama buatan ibu. Mungkin bodoh,Ka, sebenarnya kan milo itu tinggal seduh aja, dimana-mana kan gitu. Tapi gak tau kenapa buatan Ibu itu selalu terasa luar biasa, Ka,” ungkap Milan dengan matanya yang sedang berusaha keras agar ait matanya tidak jatuh di pipinya.
“Maaf, ya, Lan, turut berduka. Berdoa terus buat Ibu kamu,Lan, ngebantu ngurangin rasa rindu,kok. Iya,buatan Ibu emang selalu terasa beda. Aku juga rindu oseng tahu buatan mamaku.”
“Gapapa, Ka, udah lama juga, kok. Iya, Ka, selalu. Dan rasa rindu itu terasa semakin menumpuk. Tapi mama kamu masih ada, kan? Kamu masih bisa memintanya, Ka.”
“Iya, Lan, masih ada. Iya, masih bisa minta juga, tapi aku nggak bakal diladenin apa lagi dibuatin, Lan. Ibu aku gila karena jatuh dari tangga, Alhamdulillah nggak meninggal, tapi ada gangguan saraf dan udah hampir 3 tahun di RSJ, Lan,” cerita Uka yang maish bisa tersenyum. Milan tahu, Uka menyembunyikan segala rasa rindunya yang semakin sesak.
“Maaf, ya, Ka. Kamu masih sering datangin mama kamu, kan?”
“Iya, Lan, gapapa. Café ini kami dedikasikan buat mama. Karena mama suka banget pergi ke café. Iya, seminggu sekali aku kesana. Hari Minggu aku mau kesana. Mau ikut? Eh iya, itupun kalo kamu nggak sibuk.”
“Hoo, gitu. Ayah kamu sayang banget, ya, sama Mama kamu.. Ayah aku nggak sayang sama Ibu aku. Dua tahun setelah Ibu meninggal, Ayah aku nikah lagi. Menyedihkan,kan? Hmm, Minggu,ya? Nanti aku kabarin deh kalo nggak ada tugas kantor.”
“Gaboleh ngomong gitu. Ayah kamu juga pasti sayang sama Ibu kamu, Lan. Mungkin Ayah kamu butuh penyemangat. Lagi pula siapa yang ngurus Ayahmu kalau kamu aja jauh dari Ayahmu?”
“Ayah kamu aja masih semangat tanpa Mama kamu. harusnya Ayahku bisa setegar seperti Ayahmu, sesetia Ayahmu, Ka. Menyedihkan.”
“Setiap Ayah punya caranya sendiri-sendiri untuk sayang dan setia terhadap anak dan istrinya, Lan.”
“Hmm. yaudah deh. Cukup ngomongin yang sedih-sedih. Udah jam 11, Ka. Hujannya juga udah berhenti. Aku mau pulang,” ucap Milan sambil memasukkan gadgednya ke dalam sakunya.
“Oh iya, udah malam banget ternyata. Nih, Lan kartu nama aku, disitu ada nomer hapeku, konfirmasi ya kalo kamunya bisa ikut menjenguk Mamaku,” Uka memberikan selembar kertas putih berbentuk persegi panjang.
“Oh iya, okesip. Aku pulang dulu, ya, Lan. Makasih udah mau dengerin curhatan dan beberapa penyataan atau pertanyaan konyol,” Milan mengembangkan senyumnya sambil berdiri dari tempat duduknya.
“Iya, anytime, Lan. Makasih juga udah dengerin curhatanku. Cuma kamu lho orang asing yang cepet banget aku akrabnya,” senyuman itu, kembali terlukis di wajah lelaki itu.
“Kembali kasih, Uka-uka! Ahaha iya sama, sebenernya aku nggak terlalu suka ngobrol banyak sama orang asing.”
“Tapi aku bukan orang asing lagi, kan?” tanya Uka sambil berjalan di sebelah kanan Milan menuju parkiran sepeda.
“Traktir milo dulu, baru deh bukan orang asing! Hahahaha,” canda Milan yang sudah duduk di sepedanya.
“Minggu, deh! Yaa kalo kamu gak sibuk…”
“Untuk milo selalu ada waktu!! Yaudah, Ka, aku pulang, ya?”
“Ahahaha. Iya. Daritadi kita ngomong terus. Hati-hati,ya!! Daaaaaah.”
“Okesip. Daaaaaaahh,” Milan melambaikan tangan kanannya.

Saat Milan sampai di seberang jalan dan memasuki gapura gangnya, tiba-tiba Uka berteriak dan berlari mengejar Milan untuk mengembalikan kunci kosan milik Milan yang terjatuh di bis saat dia tak sengaja menyeruduk Uka. Uka baru sadar saat sudah sampai di rumahnya saat dia membuka sepatunya, dia menemukan kunci dengan gantungan bola pingpong oren. Sepatu yang dibelikan Ayahnya beberapa hari lalu memang kebesaran untuk kaki Uka. Dan yang Uka pikirkan saat menemukan kunci itu di sepatunya adalah wanita di bis kota tadi yang tak sengaja menabraknya dari belakang. Uka tahu karena saat dia masuk bis, dia melihat wanita itu berdiri memegang kunci itu dan tidak memegang pegangan di langit-langit bis karena dia tak sanggup menggapainya.
 Tak sampai seberang, karena Uka terburu-buru, Uka tak sempat melihat keadaan sekeliling sebelum menyeberang. Bruukkkk. Badan Uka terlempar beberapa meter dari tempat dia tertabrak. Mobil Jeep yang bertubuh besar dengan plat Yogyakarta itu langsung melarikan diri.
Milan mambanting ke kanan sepedanya, tak peduli akan merusak bagian apa saja. Dia berlari ke tempat Uka terbaring lemah dengan kepala terbentur pembatas jalan yang sudah berlumuran darah. Semua karyawan dan orang-orang yang ada disekitar tempat kejadian berbondong-bondong melihat keadaan Uka.
Uka dibawa ke rumah sakit dengan mobil Ayahnya. Ayahnya tak kuat melihat keadaan Uka dan memilih menetap di café bersama 4 karyawan yang tersisa.



We are young, we are free
Stay up late, we don’t sleep
Got our friends, got the night, We’ll be alright

Alarm yang cukup keras yang mendendangkan lagu We’ll Be Alright dari Travie McCoy membangunkan tidur panjang Milan yang kelelahan satelah mencuci pakaian yang menumpuk selama 5 hari itu.
“Haaaaa. Cuma mimpi!!!”

Milan bersiap berangkat kerja tepat pukul 7.30. Milan berjalan ke halte melewati café depan gangnya. Dan tak disangka, Milan menemukan sosok ‘Uka’ di dalam café tersebut. “Entah ini benar apa salah, nanti malam aku akan mendatangimu untuk meminta kunciku!!”




Tidak ada komentar:

Posting Komentar