Heina sedang mencoret-coret papan tulis kelasnya saat Azhar
mengambil bola yang masuk ke kelas Heina. Matahari seakan ikut tersenyum
bersama dengan menggelindingnya bola yang berlabuh tepat di sebelah kanan
Heina.
“Permisi,ya.
Mau ambil bola,” ucap Azhar di depan pintu kepada Jeni yang sedang duduk di
meja guru.
“Eh iya, masuk aja,” Jeni menjawab
diikuti senyuman ciee-Heina-ada-Azhar-lho miliknya.
Azhar masuk dan langsung mengambil
bola milik sekolah yang dipinjamnya
dengan teman-teman kelasnya. Heina menoleh, menyadari Azhar yang berselimut
keringat itu sudah berada disampingnya.
“Haee,
Na,” sapa Azhar dengan senyuman sejuta umat miliknya.
“Hh-haee,
Zhar,” jawab Heina gagap,
tidak berani menatap mata milik Azhar yang berwarna cokelat kehitaman itu.
“Duduk
dulu, Na.. aku mau ngomong sesuatu,” Azhar yang sudah duduk sambil memegang
bola, mengajak Heina duduk di kirinya.
“Ngg-ngapain?” Heina yang bingung
dengan perilaku Azhar, tetap berdiri sambil melihat ke sekeliling.
“Duduk
aja dulu.”
Heina
yang sudah ada di samping Azhar, masih belum berani menatap Azhar.
“Aku
minta maaf,” Azhar menatap Heina sambil memainkan bola di tangannya.
“Minta
maaf kenapa?”
“Karena
udah buat kamu nunggu. Maaf. Kamu mau kan nunggu aku lebih lama lagi? Cuma
sampe kelulusan, Na. Aku janji,” intonasi dan volume suara Azhar berubah jadi
semaikin pelan dan rendah.
“He-he. Kamu nggak salah, Zhar. Dan
nggak perlu membuat janji yang nggak bisa kamu tepatin,” Heina merangkai
senyuman terlebar untuk
Azhar. Matanya menyipit.
“Na,”
ucapnya sambil memperbaiki posisi duduknya. “Aku minta maaf. Yaudah, liat aja
nanti, selama kamu masih mau nunggu aku. Aku balik main bola lagi,ya, Na,”
Azhar berlari meninggalkan Heina yang masih bingung.
“Menunggumu itu candu, Zhar.”
Tonight we are young
So let set the world on fire
We can burn brighter
Than the sun ~
So let set the world on fire
We can burn brighter
Than the sun ~
Potongan tembang dari FUN. sebagai alarm tone membuyarkan
mimpi Heina yang sudah terangkai dengan imutnya.
“Haaaaaaaaaa.
Pantes nggak ada yang ciee-ciee-in tadi. Kamu kayaknya sejajar sama kenyataan,
gak bakal ketemu dan bersatu-padu atau berkolaborasi. Gitu, Zhar..” Heina
ngomong kepada selimut.
***
27 Oktober 2011
Haeee, Zhar
Karena gak ada yang pasti dan manusia hanya pantas
berharap kepada Tuhannya,jadi, kayak gimana, sih, harapan yang pasti itu?
Mungkin hampir setahun yang lalu. Ya,
waktu membawa kenangan, makanya aku masih ingat. Dentuman jarum jam seakan
mengalunkan melodi yang pernah terangkai. Eh iya, apasih yang gak aku ingat
tentang kamu? Tentang kita yang sebenarnya gak pernah ada? Aku ingat setiap hal
kecilnya. Kamu termasuk kenangan yang dibawa oleh waktu untuk menerima masa
depan. Terkadang waktu emang jahat, dia gak tahu yang mana yang harus
dipercepat, diperlambat, atau bahkan dihentikan. Karena waktu ditugaskan hanya
untuk maju teratur, berdetak teratur.
“Kamu
tu, Zhar, PHP-in Heina!”
“Iya,
aku PHP, Pemberi Harapan Pasti.”
Apaan, sih, Zhar, yang pasti? Yang aku tau hanya
kematian.
Aku bohong kalo aku siap dikecewain. Aku juga
bohong kalo aku nggak nunggu kepastian dari kamu. Tapi apa itu kepastian? Aku
bodoh, menunggu yang aku sendiri nggak tau itu apa. Tapi, Zhar, kata
orang-orang itu harus, supaya aku nggak kecewa. Sepertinya kepastian itu
dibutuhkan semua orang. Apakah kepastian sejenis komitmen? Eik. Komitmen kayaknya
kata yang terlalu berat. Atau sejenis kekompakan? Atau yang ngomong ‘pasti’
adalah Tuhan? Tahu apa yang akan terjadi nantinya, makanya dia bilang ‘pasti’?
Maaf, ya, Zhar, aku gak jelas dan gak pasti.
Pembuktian dari harapan pasti-mu sendiri adalah
sekarang. Aku gapapa disini. Kamu kelihatan bahagia kok sama dia, sama cewek
yang memiliki rambut berkilau. Semua tentang bahagia, kan? Mungkin bahagiaku
bukan kamu. Dan aku, selalu mencoba menjadi bahagiamu. Bahagia nungguin yang
selalu sibuk, nungguin punyanya orang lain, nungguin yang yang sebenarnya nggak
pernah ngasih harapan pasti. Karena sebenarnya gak ada yang pasti, kan, Zhar?
Karena yang pasti hanyalah ketidakpastian itu sendiri . Bagaimana jika aku selalu
menganggap kamu adalah bahagiaku?
Oh ya, Zhar. kamu masih ingat nggak waktu tugas
Tata Boga semester akhir? Aku nggak pernah tau kamu dan kelompokmu masak apa.
Coba aja kita punya waktu buat saling bertukar cerita. Sayangnya, Tuhan belum
memberikan waktuNya untukku agar bisa kuhabiskan denganmu. Hanya belum, Zhar. Kamu
lagi dibahagiain sama orang lain sekarang. Kamu sedang berlayar mengarungi
ribuan pulau dan mengitari samudera-samudera. Aku yakin,nantinya kamu akan
berlabuh di dermaga milikku. Hup!
Aku
ingat tugas Tata Boga waktu itu. Aku datang sangat terlambat, padahal aku yang
membawa banyak barang dan makanan. Saat aku melewati gerbang sekolah, ajaibnya
aku bisa melihatmu dari kejauhan sedang berjalan menuju gerbang sekolah,
padahal mataku sudah mencapai minus 1.75, lho, Zhar. ah. Dan lagi, mataku tidak
pernah mau menatapmu dari dekat.
Sehabis mencuci alat-alat makan, Ari, yang
sekelompok denganku, mendatangiku dengan tetesan-tetesan keringat di wajahnya.
Kelenjar keringat milik Ari sepertinya selalu bersemangat.
“Eh,
Na, Azhar minta puding, tunah.”
“Eh?
Dia ngomong ke kamu?”
“Iyaaa.
Kasih sana sudah.”
“Aih,
pudingnya udah habis, Ri. Tempatnya malah udah kamu cuci. Kasih ayam aja,ya?”
“Hmm,
iya. Kasih aja. Mau semua dia itu kalo dari kamu.”
Aku memilihkan ayam yang tersisa dengan bentuk
yang terbaik. Setelah kupastikan piringnya kering, kutaruh dua lembar daun
selada dan sebiji cabe merah besar atas usulan Dani. Saat tadi Ari
memberitahuku, aku ingin sekali mengantarkan makanan itu padamu. Tapi, setelah
semua sudah siap, giliran kaki ini yang tidak mau mengikuti kemauan awalku.
Dengan
sisi kebaikan Jeni, Tarra, dan Lena, ayam itu sampai di meja kelompok Tata
Boganya Azhar. Hm, hari itu hanya kelasku dan kelasnya Azhar yang mendapat
giliran Tata Boga. Dua kelas lainnya 2 hari sebelum kelasku dan Azhar.
“Hei...naa,
itu ayam buat Azhar, ya?” tanya Bu Rumy di depan kelas Azhar yang
menghentikanku ke tempat pencucian piring. Sebenarnya tempat yang digunakan
adalah tempat wudhu yang disulap menjadi tempat pencucian piring oleh guru Tata
Boga, Bu Tami.
“Enggggh,
iya, Bu,” jawabku sambil mencari-cari Azhar di kelasnya. Sebenarnya aku juga
takut menatap mata milik Bu Rumy. Yah,siapa tau nilaiku tiba-tiba dikurangin
gara-gara ada cerita roman di kelas sembilan yang bentar lagi Ujian Nasional.
“Oh,
pantes nggak boleh dipindah sama dia. Padahal mejanya udah mau diberesin tuh.
Bilangin Azhar, ayamnya cepet dihabisin, yang lain pada nunggu,” tambah beliau
dengan mata menggodanya. Sambil memperbaiki jilbab Rabbani berwarna hijau muda
andalannya.
“Ehe,
iya, Bu,” nadaku seakan setuju memberitahu Azhar. Aku yakin, Bu Rumy juga tau
kalo aku nggak berani ngomong ke Azhar.
Saat aku sedang berkeliling meminta makan dengan
kelompok lain, aku di panggil oleh teman kelasnya Azhar, Faera.
“Eh,
Na. Ini nah piringmu. Bersiiiiiiiih!!! Daun-daun sama cabenya juga dimakan sama
dia, Na! Katanya enak. Masa ya, temen-temen pada mau nyantap doang, nggak
dikasih sama dia. Pelit betul!” celoteh Faera di pintu kelasku. Belum aku
mengucapkan terimakasih, dia sudah pergi.
“Makasih,
ya, Ra,” ucapku dalam
hati.
Walaupun Faera masih utang Rp15.000,00 ke aku, aku
tetep menghargai jasanya mengembalikan
piring dan bercerita, yang entah kenapa aku langsung percaya. Yah, mungkin saja
semua makanan itu kamu kasih ke orang lain dan hiasan di piring itu kamu buang.
Mungkin saja Faera menceritakan versi yang lain, ah, tapi aku nggak boleh
su’udzon.
Kamu ingat itu? Hm, aku selalu ingat, apa yang
mungkin kamu tidak (mau) ingat.
Tuhan memberikanku detakan-detakan jantung yang
berbeda yang mampu membuat perutku sakit melalui kamu. Tuhan membiarkanku
merasakan bagaimana rasanya di SMS lagi sibuk, bagaimana rasanya disuruh turun
dari pohon, bagaimana rasanya disalamin pas hari ulangtahun, bagaimana rasanya
dikasih ‘harapan pasti’, bagaimana rasanya mau nerima makanan yang aku kasih,
bagaimana rasanya ditonton saat bernyanyi waktu tugas Seni Budaya, bagaimana
rasanya ditinggal oleh yang tidak pernah singgah, melalui kamu.Tuhan juga
memberikanku rintikan hujan yang melantunkan kisah kita. Kita, yang tak pernah
ada.
aaaaa diin, lanjutkan! foyah!
BalasHapus