Cari Blog Ini

Minggu, 21 Juli 2013

Hard to Breathe (empat)

Cerita sebelumnya: Hard To Breathe (tiga)

Heina sedang mencoret-coret papan tulis kelasnya saat Azhar mengambil bola yang masuk ke kelas Heina. Matahari seakan ikut tersenyum bersama dengan menggelindingnya bola yang berlabuh tepat di sebelah kanan Heina.

                “Permisi,ya. Mau ambil bola,” ucap Azhar di depan pintu kepada Jeni yang sedang duduk di meja guru.
               
“Eh iya, masuk aja,” Jeni menjawab diikuti senyuman ciee-Heina-ada-Azhar-lho miliknya.
               
Azhar masuk dan langsung mengambil bola milik sekolah yang dipinjamnya dengan teman-teman kelasnya. Heina menoleh, menyadari Azhar yang berselimut keringat itu sudah berada disampingnya.

                “Haee, Na,” sapa Azhar dengan senyuman sejuta umat miliknya.

                “Hh-haee, Zhar,” jawab Heina gagap, tidak berani menatap mata milik Azhar yang berwarna cokelat kehitaman itu.

                “Duduk dulu, Na.. aku mau ngomong sesuatu,” Azhar yang sudah duduk sambil memegang bola, mengajak Heina duduk di kirinya.

                “Ngg-ngapain?” Heina yang bingung dengan perilaku Azhar, tetap berdiri sambil melihat ke sekeliling.

                “Duduk aja dulu.”

                Heina yang sudah ada di samping Azhar, masih belum berani menatap Azhar.


                “Aku minta maaf,” Azhar menatap Heina sambil memainkan bola di tangannya.

                “Minta maaf kenapa?”

                “Karena udah buat kamu nunggu. Maaf. Kamu mau kan nunggu aku lebih lama lagi? Cuma sampe kelulusan, Na. Aku janji,” intonasi dan volume suara Azhar berubah jadi semaikin pelan dan rendah.

                “He-he. Kamu nggak salah, Zhar. Dan nggak perlu membuat janji yang nggak bisa kamu tepatin,” Heina merangkai senyuman terlebar untuk Azhar. Matanya menyipit.

                “Na,” ucapnya sambil memperbaiki posisi duduknya. “Aku minta maaf. Yaudah, liat aja nanti, selama kamu masih mau nunggu aku. Aku balik main bola lagi,ya, Na,” Azhar berlari meninggalkan Heina yang masih bingung.

                “Menunggumu itu candu, Zhar.”

Tonight we are young
So let set the world on fire
We can burn brighter
Than the sun ~

Potongan tembang dari FUN. sebagai alarm tone membuyarkan mimpi Heina yang sudah terangkai dengan imutnya.

                “Haaaaaaaaaa. Pantes nggak ada yang ciee-ciee-in tadi. Kamu kayaknya sejajar sama kenyataan, gak bakal ketemu dan bersatu-padu atau berkolaborasi. Gitu, Zhar..” Heina ngomong kepada selimut.


***


27 Oktober 2011

Haeee, Zhar
Karena gak ada yang pasti dan manusia hanya pantas berharap kepada Tuhannya,jadi, kayak gimana, sih, harapan yang pasti itu?

Mungkin hampir setahun yang lalu. Ya, waktu membawa kenangan, makanya aku masih ingat. Dentuman jarum jam seakan mengalunkan melodi yang pernah terangkai. Eh iya, apasih yang gak aku ingat tentang kamu? Tentang kita yang sebenarnya gak pernah ada? Aku ingat setiap hal kecilnya. Kamu termasuk kenangan yang dibawa oleh waktu untuk menerima masa depan. Terkadang waktu emang jahat, dia gak tahu yang mana yang harus dipercepat, diperlambat, atau bahkan dihentikan. Karena waktu ditugaskan hanya untuk maju teratur, berdetak teratur.

                “Kamu tu, Zhar, PHP-in Heina!”

                “Iya, aku PHP, Pemberi Harapan Pasti.”

Apaan, sih, Zhar, yang pasti? Yang aku tau hanya kematian.

Aku bohong kalo aku siap dikecewain. Aku juga bohong kalo aku nggak nunggu kepastian dari kamu. Tapi apa itu kepastian? Aku bodoh, menunggu yang aku sendiri nggak tau itu apa. Tapi, Zhar, kata orang-orang itu harus, supaya aku nggak kecewa. Sepertinya kepastian itu dibutuhkan semua orang. Apakah kepastian sejenis komitmen? Eik. Komitmen kayaknya kata yang terlalu berat. Atau sejenis kekompakan? Atau yang ngomong ‘pasti’ adalah Tuhan? Tahu apa yang akan terjadi nantinya, makanya dia bilang ‘pasti’? Maaf, ya, Zhar, aku gak jelas dan gak pasti.

Pembuktian dari harapan pasti-mu sendiri adalah sekarang. Aku gapapa disini. Kamu kelihatan bahagia kok sama dia, sama cewek yang memiliki rambut berkilau. Semua tentang bahagia, kan? Mungkin bahagiaku bukan kamu. Dan aku, selalu mencoba menjadi bahagiamu. Bahagia nungguin yang selalu sibuk, nungguin punyanya orang lain, nungguin yang yang sebenarnya nggak pernah ngasih harapan pasti. Karena sebenarnya gak ada yang pasti, kan, Zhar? Karena yang pasti hanyalah ketidakpastian itu sendiri . Bagaimana jika aku selalu menganggap kamu adalah bahagiaku?

Oh ya, Zhar. kamu masih ingat nggak waktu tugas Tata Boga semester akhir? Aku nggak pernah tau kamu dan kelompokmu masak apa. Coba aja kita punya waktu buat saling bertukar cerita. Sayangnya, Tuhan belum memberikan waktuNya untukku agar bisa kuhabiskan denganmu. Hanya belum, Zhar. Kamu lagi dibahagiain sama orang lain sekarang. Kamu sedang berlayar mengarungi ribuan pulau dan mengitari samudera-samudera. Aku yakin,nantinya kamu akan berlabuh di dermaga milikku. Hup!
                Aku ingat tugas Tata Boga waktu itu. Aku datang sangat terlambat, padahal aku yang membawa banyak barang dan makanan. Saat aku melewati gerbang sekolah, ajaibnya aku bisa melihatmu dari kejauhan sedang berjalan menuju gerbang sekolah, padahal mataku sudah mencapai minus 1.75, lho, Zhar. ah. Dan lagi, mataku tidak pernah mau menatapmu dari dekat.

Sehabis mencuci alat-alat makan, Ari, yang sekelompok denganku, mendatangiku dengan tetesan-tetesan keringat di wajahnya. Kelenjar keringat milik Ari sepertinya selalu bersemangat.


                “Eh, Na, Azhar minta puding, tunah.”

                “Eh? Dia ngomong ke kamu?”

                “Iyaaa. Kasih sana sudah.”

                “Aih, pudingnya udah habis, Ri. Tempatnya malah udah kamu cuci. Kasih ayam aja,ya?”

                “Hmm, iya. Kasih aja. Mau semua dia itu kalo dari kamu.”

Aku memilihkan ayam yang tersisa dengan bentuk yang terbaik. Setelah kupastikan piringnya kering, kutaruh dua lembar daun selada dan sebiji cabe merah besar atas usulan Dani. Saat tadi Ari memberitahuku, aku ingin sekali mengantarkan makanan itu padamu. Tapi, setelah semua sudah siap, giliran kaki ini yang tidak mau mengikuti kemauan awalku.

                Dengan sisi kebaikan Jeni, Tarra, dan Lena, ayam itu sampai di meja kelompok Tata Boganya Azhar. Hm, hari itu hanya kelasku dan kelasnya Azhar yang mendapat giliran Tata Boga. Dua kelas lainnya 2 hari sebelum kelasku dan Azhar.

                “Hei...naa, itu ayam buat Azhar, ya?” tanya Bu Rumy di depan kelas Azhar yang menghentikanku ke tempat pencucian piring. Sebenarnya tempat yang digunakan adalah tempat wudhu yang disulap menjadi tempat pencucian piring oleh guru Tata Boga, Bu Tami.

                “Enggggh, iya, Bu,” jawabku sambil mencari-cari Azhar di kelasnya. Sebenarnya aku juga takut menatap mata milik Bu Rumy. Yah,siapa tau nilaiku tiba-tiba dikurangin gara-gara ada cerita roman di kelas sembilan yang bentar lagi Ujian Nasional.

                “Oh, pantes nggak boleh dipindah sama dia. Padahal mejanya udah mau diberesin tuh. Bilangin Azhar, ayamnya cepet dihabisin, yang lain pada nunggu,” tambah beliau dengan mata menggodanya. Sambil memperbaiki jilbab Rabbani berwarna hijau muda andalannya.

                “Ehe, iya, Bu,” nadaku seakan setuju memberitahu Azhar. Aku yakin, Bu Rumy juga tau kalo aku nggak berani ngomong ke Azhar.

Saat aku sedang berkeliling meminta makan dengan kelompok lain, aku di panggil oleh teman kelasnya Azhar, Faera.

                “Eh, Na. Ini nah piringmu. Bersiiiiiiiih!!! Daun-daun sama cabenya juga dimakan sama dia, Na! Katanya enak. Masa ya, temen-temen pada mau nyantap doang, nggak dikasih sama dia. Pelit betul!” celoteh Faera di pintu kelasku. Belum aku mengucapkan terimakasih, dia sudah pergi.

                “Makasih, ya, Ra,” ucapku dalam hati.

Walaupun Faera masih utang Rp15.000,00 ke aku, aku tetep menghargai  jasanya mengembalikan piring dan bercerita, yang entah kenapa aku langsung percaya. Yah, mungkin saja semua makanan itu kamu kasih ke orang lain dan hiasan di piring itu kamu buang. Mungkin saja Faera menceritakan versi yang lain, ah, tapi aku nggak boleh su’udzon.

Kamu ingat itu? Hm, aku selalu ingat, apa yang mungkin kamu tidak (mau) ingat.

Tuhan memberikanku detakan-detakan jantung yang berbeda yang mampu membuat perutku sakit melalui kamu. Tuhan membiarkanku merasakan bagaimana rasanya di SMS lagi sibuk, bagaimana rasanya disuruh turun dari pohon, bagaimana rasanya disalamin pas hari ulangtahun, bagaimana rasanya dikasih ‘harapan pasti’, bagaimana rasanya mau nerima makanan yang aku kasih, bagaimana rasanya ditonton saat bernyanyi waktu tugas Seni Budaya, bagaimana rasanya ditinggal oleh yang tidak pernah singgah, melalui kamu.Tuhan juga memberikanku rintikan hujan yang melantunkan kisah kita. Kita, yang tak pernah ada.



1 komentar: