Hujan turun deras malam itu. Tanpa mantel yang
melekat di tubuhku, aku semakin melaju di jalan raya yang mulai sepi, gelap.
Semenjak Ayah pergi, rumah hanya sebagai tempat makan dan tidurku. Aku membenci
semua hal yang ada di rumah, aku membenci hidupku yang tak jelas arahnya.
Semakin dingin saja kurasa tubuh ini dan baru kali ini aku merasa ingin segera
sampai di rumah.
Kulihat
ibuku tertidur pulas di sofa lapuk. Terlihat dari raut wajahnya, sepertinya Ia
lelah. Teramat lelah. Aku melepas helmku di sembarang tempat, kutaruh tasku di
bawah jendela, aku tak peduli. Dengan langkah kecil dan tanpa suara, aku
melewati Ibuku yang jaraknya hanya satu meter dariku. Ruang tamu sekaligus
ruang keluargaku hanya sebesar tiga kali empat meter yang diisi dengan sofa, rak
sepatu, meja kecil,televisi, mesin jahit dan beberapa bingkai foto. Pelan
kulangkahkan kakiku, dan ternyata sepelan apapun aku mencoba pasti Ibuku akan
terbangun dan mendapati anak gadisnya pulang larut malam.
“Sudah
pulang, Lan?” tanya Ibuku dengan nada lembutnya.
“Nggak.
Ini masih di jalan.” Jawabku jutek. Lagi pula, aku sudah ada di depannya, untuk
apa menanyakan hal seperti itu?
Tanpa melihat ekspresi wajahnya, aku kembali
berjalan menuju kamarku, tempat yang paling nyaman, yang paling mengerti keadaanku.
Aku kembali keluar dan menemukan Ibuku sudah
tak ada di ruang tamu. Aku berjalan ke ke kamar mandi, melewati dapur pun tak
menemukannya. ah, aku tak bermaksud mencarinya. Sepertinya Ia tertidur di sofa
saat menungguku pulang. Kuambil segelas air hangat dan ingatan itu kembali
datang.
Aku, putri kecilnya
yang sebentar lagi masuk SMA. Walaupun sudah hampir 15tahun, Ia masih
menganggapku putri kecilnya yang sangat menyukai es krim vanila. Aku ingat
bagaimana Ia menceritakan kehidupannya selama di Rig. Rig adalah pengeboran
minyak lepas pantai. Dalam setahun, Ia bekerja selama tujuh bulan. Sisanya,
dihabiskan denganku. Bayangkan saja betapa aku merindukannya dalam ratusan
hari. Ia mengajarkan banyak hal, salah satunya adalah memperjuangkan apa yang seharusnya
menjadi milik kita. Dia adalah lelaki pertama yang membuatku jatuh cinta dan
Dia adalah cinta pertamaku. Orang itu adalah Ezra Hasymy, Ayahku yang tak
pernah berhenti kucintai.
Langit mulai
menjingga sore itu. Ayah menjemputku di tempat les gitarku. Hari ini berbeda
dengan hari biasanya. Ada seorang wanita yang lebih muda kira-kira 5tahun dari
Ayah duduk di kursi depan, tempat Ibuku biasa duduk berdampingan dengan Ayahku.
Wanita itu memperkenalan dirinya. Namanya Adriana, tampaknya Ia sudah mengenal
Ayah sejak lama. Mereka asik berbincang tanpa memperdulikan aku yang duduk di
kursi belakang.
Sejak saat itu, Ayah
berubah. Aku tahu, mungkin semua hal akan berubah, tetapi aku harap bukan Ayah
yang berubah. Semua berjalan begitu cepatnya. Mengapa hal-hal menyenangkan
meluap begitu saja? Mengapa tidak berhenti sekejap saja? Kurasa waktu sangat
membenciku. Waktu selalu berdetak maju, padahal tetap dalam lingkaran waktu
yang diciptakannya sendiri, seakan-akan dia berpindah tempat, berjalan maju,
tetapi nyatanya, dia masih terjebak dalam lingkaran. Ayah lebih sering bermain
dengan smartphonenya ketimbang berbincang ringan denganku atau bercanda,
mengobrol tentang semua hal seperti biasa. Tak ada lagi es krim vanila seminggu
sekali, tak ada lagi berkumpul di warung hulor pinggir jalan, tak ada lagi
pergi ke toko buku bersama Ibu,tak ada lagi menikmati senja bertiga, tak ada lagi hari-hari hangat lainnya.
Selanjutnya, yang aku
tahu, Ayah meninggalkanku dengan Ibuku bersama kenangan tentangnya, juga sebuah
rumah petak kecil yang dibelinya untuk kami. Untuk kalian ketahui, aku dan
Ibuku sudah berjuang, sekuat apapun kami mencoba, Ayah tetap tak mau kembali.
Ia lebih memilih wanita yang baru dikenalnya dua tahun lalu, mengalahkan aku
dan Ibuku yang sudah bersamanya belasan tahun. Yah, Tuhan telah merencanakan
sesuatu yang lebih indah di ujung sana.
Ibuku adalah seorang
guru privat sekaligus penjahit rumahan. Dengan uang seadanya, aku tumbuh dengan
Ibu di lingkungan baru kami. Awalnya aku mampu berjuang dengannya. Tetapi, aku
masih tetap putri kecil Ayah. Aku membutuhkan Ayah.
Nilai
sekolahku jeblok, bahkan tak ada lagi yang mau bermain denganku, dengan anak
yang ditinggalkan oleh Ayahnya, yang kini tinggal di rumah kecil. Bahkan aku
mulai membenci Ibuku sendiri. Aku membencinya karena tidak bisa bertahan dengan
Ayah, tidak bisa membahagiakan Ayah dan Ayah mencari wanita lain yang mampu
membahagiakannya.
Mungkin hanya beberapa kali dalam sehari aku
berbicara dengan Ibu. Ia selalu berusaha mengajakku berbicara, tetapi aku tak
pernah menyiapkan telingaku untuk mendengarkannya. Selalu kuacuhkan Ia dengan
mudahnya.
Sore
itu, tak kutemukan Ibuku di rumah. Aku mencarinya untuk menandatangani surat
persetujuan orangtua untuk perpisahan kelas dua belas. Aku mencarinya ke rumah
tetangga, tak kutemukan. Aku kembali ke rumah. Mungkin Ibu pergi ke rumah
muridnya.
Sudah
dua hari aku tak menemukan Ibuku. Tak ada pesan yang ditinggalkannya. Aku masuk
ke kamarnya dengan langkah yang sedikit takut. Kamar yang selalu rapi, tak ada
debu ataupun sarang laba-laba disana. Kutemukan album foto di atas kasur.
Sepertinya Ia lupa menaruh kembali sehabis melihatnya. Kubuka kembali ruang
usang itu, bukti bisu tentang semua yang pernah ada. Kutemukan fotoku dan Ibuku
sedang makan es krim vanila, sedang mewarnai gambar kereta, sampai bermain air
mancur di tengah kota. Ternyata, sewaktu kecil, aku lebih dekat dengan Ibu
daripada Ayahku. Semakin kubalik lembaran itu, semakin kurindu Ibuku. Kucoba
menepis perasaan itu, tetapi tak bisa. Aku begitu menyayanginya. Aku rindu
berbicara dengannya, aku rindu masak berdua, aku rindu belanja berdua, aku
rindu bermain masak-masakan berdua, aku rindu cerita-cerita masa kecilku
darinya, aku rindu segala hal yang kulakukan dengannya.
Kuletakkan
kembali album foto itu di laci meja. Tak sengaja aku melihat sebuah buku yang
bergambar payung besar berwarna merah muda. Belum pernah aku melihat buku itu. Dengan rasa
penasaran, tanganku bergerak mengambilnya dan membuka halaman demi halaman.
Buku
itu adalah buku harian Ibu.
Di halaman pertama, Ibu menjelaskan mengapa
memilih payung besar berwarna merah muda. Tertulis disana dengan tulisan rapi
khas Ibu, bahwa payung besar itu adalah dia. Dia adalah payung besar yang ingin
selalu bisa melindungiku dengan cinta. Dia tak peduli kalau aku sudah tak lagi
mempedulikannya. Yang dia tahu, dia ingin selalu menjagaku.
Ibu banyak menuliskan tentangku. Tentang rasa
khawatirnya saat aku pulang malam, takut aku tak mempunyai teman, khawatir akan
kesehatanku, sekolahku, jam tidurku, hingga kantung mataku yang kian menghitam.
Beberapa juga Ia menceritakan tentang Ayah. Tertuis di sana, bahwa Ia telah
lama mengetahui kelakuan Ayah di belakang. Ayah mencintaiku, tapi tidak lagi
dengannya. Ia menceritakan bagaimana Ia berjuang sendirian mempertahankan
cintanya, tetapi itu semua di luar kemampuannya. Dengan tinta pulpen yang
berwarna berbeda, ibu menulis “Jangan memaksa Tuhan untuk memilih pilihanmu.
Tetapi pilihlah apa yang Tuhan telah pilih untukmu.” Tepat di baris itu, bulir
air mataku jatuh satu persatu.
Ibu selalu menjadikanku penopang semangatnya.
Semangat yang mampu menopang ribuan awan itu, ditumpukan padaku. Padaku,
seorang anak perempuan yang tak mengerti cinta dari seorang Ibu. Saat ini aku
merasa jadi orang yang paling bodoh. Sibuk membenci hingga lupa ada orang yang
harus kucintai.
Semakin
kubalik halamannya, semakin banyak pula air mata yang berjatuhan. Mataku panas,
sesak, aku telah melukainya terlalu dalam. Selama ini, Ia selalu berusaha untuk
membicarakan sesuatu hal dan hal itu ternyata adalah tentang penyakitnya yang
bahkan aku baru mengetahuinya. Ia terkena penyakit jantung. Sudah lama semenjak
kami masih satu rumah dengan Ayah, Ibu menyembunyikan semuanya. Aku mulai
kalut. Kucari obat ibuku, mungkin aku akan mengetahui di mana selama ini Ia
mengecek kesehatan jantungnya. Mungkin juga Ibu tak ada di rumah karena sedang
berada di rumah sakit.
Aku
menemukan obatnya di kantung kulkas setelah hampir setengah jam kucari di
setiap jengkal rumah. Rumah Sakit Dokter Sutomo. Kuambil jaket dan helmku,
kupacu kecepatan motorku hingga 60km/jam dengan air mata yang susah sekali
dihentikan. Aku tak tahu harus apa selain mencarinya di sana.
Ia
terbaring lemah di bilik yang ditutup gorden biru. Dokter menjelaskan semua,
Ibu sudah terlambat untuk dipasangkan ring di jantungnya. Ibu tak mau
menggunakan uang tabungannya untuk keperluannya. Ibu bercerita banyak pada
dokter cantik yang berperawakan seperti model majalah itu tentangku. Ibu ingin
uang tabungannya dipakai untuk keperluan sekolahku hingga ke perguruan tinggi.
Ia merelakan kesehatannya sendiri untuk anaknya yang bahkan membencinya. Ibu
meminta dokter untuk tidak memberi tahuku tentang keadaannya, hingga mungkin ia
tak bernyawa. Aku hanya bisa menangis, menyesali hal-hal bodoh yang kubuat
sendiri, kebencian yang kubangun sendiri. Aku berlari memeluk Ibuku, tak bisa
kutahan lupan rinduku. Kuat sekali kupeluk, seakan-akan aku bisa memaafkan
diriku sendiri, seakan-akan aku bisa menyembuhkannya kembali.
Hari ini, aku bermain ke rumah Ibuku yang
baru. Aku harus bisa memperlihatkan senyum terbaikku, walaupun air mata bisa
kapan saja jatuh. Aku selalu mengunjungi ibuku, tak kurang dari 2 kali sebulan.
Karena cinta adalah, sesibuk apapun, kamu selalu berusaha agar mempunyai waktu
luang untuknya. Kuletakkan bunga matahari kesukannya di bawah batu nisan,
kusiram tempat peristirahatan terakhirnya itu dengan sebotol air mineral, lalu
kubacakan doa untuknya. Untuknya yang tak pernah berhenti mencintaiku.
Untukmu Ibu,
Terimakasih untuk selalu ada saat aku di
posisi terbawah,
Terimakasih telah menjadi inspirasi setiap langkah,
Terimakasih telah menjadikanku orang yang tabah,
Terimakasih telah mengajarkanku bagaimana mencinta,
Terimakasih telah menunjukkan dunia fana yang indah,
Terimakasih untuk mencintaiku tanpa jeda,
Terimakasih Ibu, tetaplah berjalan bersisian denganku, walaupun aku tahu engkau sedang bermain di langit ke tujuh.
Terimakasih telah menjadi inspirasi setiap langkah,
Terimakasih telah menjadikanku orang yang tabah,
Terimakasih telah mengajarkanku bagaimana mencinta,
Terimakasih telah menunjukkan dunia fana yang indah,
Terimakasih untuk mencintaiku tanpa jeda,
Terimakasih Ibu, tetaplah berjalan bersisian denganku, walaupun aku tahu engkau sedang bermain di langit ke tujuh.
Ibu masih menjadi senja favoritku, walaupun
sekarang dan seterusnya, senja akan berwarna kelabu.
Amanat:
Sayangi ibumu walau kau tak perah bisa
melampaui kasih sayangnya. Karena Ibu adalah malaikat tanpa sayap, malaikat
yang bisa kita lihat, yang dikirimkan Tuhan untuk menjaga kita. Ibu rela
memberikan semua yang Ia punya untuk kebahagiaan kita. Ia tak ingin melihat
anaknya sepertinya. Ia ingin anaknya lebih baik darinya. Adalah kepuasan yang
tak ternilai harganya saat orang tua melihat anaknya lebih sukses darinya, dan
pencapaian yang luar biasa saat seorang anak bisa membuat orangtuanya bahagia.
Sebaiknya bicarakan apa yang mengganjal di pikiran, jangan hanya menarik
kesimpulan sendiri dan hanya menyalahkan orang lain tanpa tahu kebenarannya.
Perjuangkan apa yang seharusnya menjadi milik kita, dan bertahanlah bersama
orang yang ingin berjuang bersama, bukan dengan orang yang hanya ingin
diperjuangkan sebelum penyeselan menertawakanmu di ujung jalan.
Andini Nur Fitri
XI MIA 3
XI MIA 3
*kutipan Zarry Hendrik
*tugas Bahasa Indonesia mengarang cerita pendek. saya lupa tanggal berapa.
Terimakasih, postingan-nya sangat bagus sekali. Senang sekali berkunjung ke blog anda. saya bantu share ya gan? semoga dapat bermanfaat buat kita semua. Amin :D :D
BalasHapus