Cari Blog Ini

Sabtu, 02 Mei 2015

Senja Kelabu


Hujan turun deras malam itu. Tanpa mantel yang melekat di tubuhku, aku semakin melaju di jalan raya yang mulai sepi, gelap. Semenjak Ayah pergi, rumah hanya sebagai tempat makan dan tidurku. Aku membenci semua hal yang ada di rumah, aku membenci hidupku yang tak jelas arahnya. Semakin dingin saja kurasa tubuh ini dan baru kali ini aku merasa ingin segera sampai di rumah.

                Kulihat ibuku tertidur pulas di sofa lapuk. Terlihat dari raut wajahnya, sepertinya Ia lelah. Teramat lelah. Aku melepas helmku di sembarang tempat, kutaruh tasku di bawah jendela, aku tak peduli. Dengan langkah kecil dan tanpa suara, aku melewati Ibuku yang jaraknya hanya satu meter dariku. Ruang tamu sekaligus ruang keluargaku hanya sebesar tiga kali empat meter yang diisi dengan sofa, rak sepatu, meja kecil,televisi, mesin jahit dan beberapa bingkai foto. Pelan kulangkahkan kakiku, dan ternyata sepelan apapun aku mencoba pasti Ibuku akan terbangun dan mendapati anak gadisnya pulang larut malam.
                “Sudah pulang, Lan?” tanya Ibuku dengan nada lembutnya.
                “Nggak. Ini masih di jalan.” Jawabku jutek. Lagi pula, aku sudah ada di depannya, untuk apa menanyakan hal seperti itu?
Tanpa melihat ekspresi wajahnya, aku kembali berjalan menuju kamarku, tempat yang paling nyaman, yang paling mengerti keadaanku.
Aku kembali keluar dan menemukan Ibuku sudah tak ada di ruang tamu. Aku berjalan ke ke kamar mandi, melewati dapur pun tak menemukannya. ah, aku tak bermaksud mencarinya. Sepertinya Ia tertidur di sofa saat menungguku pulang. Kuambil segelas air hangat dan ingatan itu kembali datang.


Aku, putri kecilnya yang sebentar lagi masuk SMA. Walaupun sudah hampir 15tahun, Ia masih menganggapku putri kecilnya yang sangat menyukai es krim vanila. Aku ingat bagaimana Ia menceritakan kehidupannya selama di Rig. Rig adalah pengeboran minyak lepas pantai. Dalam setahun, Ia bekerja selama tujuh bulan. Sisanya, dihabiskan denganku. Bayangkan saja betapa aku merindukannya dalam ratusan hari. Ia mengajarkan banyak hal, salah satunya adalah memperjuangkan apa yang seharusnya menjadi milik kita. Dia adalah lelaki pertama yang membuatku jatuh cinta dan Dia adalah cinta pertamaku. Orang itu adalah Ezra Hasymy, Ayahku yang tak pernah berhenti kucintai.

Langit mulai menjingga sore itu. Ayah menjemputku di tempat les gitarku. Hari ini berbeda dengan hari biasanya. Ada seorang wanita yang lebih muda kira-kira 5tahun dari Ayah duduk di kursi depan, tempat Ibuku biasa duduk berdampingan dengan Ayahku. Wanita itu memperkenalan dirinya. Namanya Adriana, tampaknya Ia sudah mengenal Ayah sejak lama. Mereka asik berbincang tanpa memperdulikan aku yang duduk di kursi belakang.

Sejak saat itu, Ayah berubah. Aku tahu, mungkin semua hal akan berubah, tetapi aku harap bukan Ayah yang berubah. Semua berjalan begitu cepatnya. Mengapa hal-hal menyenangkan meluap begitu saja? Mengapa tidak berhenti sekejap saja? Kurasa waktu sangat membenciku. Waktu selalu berdetak maju, padahal tetap dalam lingkaran waktu yang diciptakannya sendiri, seakan-akan dia berpindah tempat, berjalan maju, tetapi nyatanya, dia masih terjebak dalam lingkaran. Ayah lebih sering bermain dengan smartphonenya ketimbang berbincang ringan denganku atau bercanda, mengobrol tentang semua hal seperti biasa. Tak ada lagi es krim vanila seminggu sekali, tak ada lagi berkumpul di warung hulor pinggir jalan, tak ada lagi pergi ke toko buku bersama Ibu,tak ada lagi menikmati senja bertiga,  tak ada lagi hari-hari hangat lainnya.

Selanjutnya, yang aku tahu, Ayah meninggalkanku dengan Ibuku bersama kenangan tentangnya, juga sebuah rumah petak kecil yang dibelinya untuk kami. Untuk kalian ketahui, aku dan Ibuku sudah berjuang, sekuat apapun kami mencoba, Ayah tetap tak mau kembali. Ia lebih memilih wanita yang baru dikenalnya dua tahun lalu, mengalahkan aku dan Ibuku yang sudah bersamanya belasan tahun. Yah, Tuhan telah merencanakan sesuatu yang lebih indah di ujung sana.

Ibuku adalah seorang guru privat sekaligus penjahit rumahan. Dengan uang seadanya, aku tumbuh dengan Ibu di lingkungan baru kami. Awalnya aku mampu berjuang dengannya. Tetapi, aku masih tetap putri kecil Ayah. Aku membutuhkan Ayah.

                Nilai sekolahku jeblok, bahkan tak ada lagi yang mau bermain denganku, dengan anak yang ditinggalkan oleh Ayahnya, yang kini tinggal di rumah kecil. Bahkan aku mulai membenci Ibuku sendiri. Aku membencinya karena tidak bisa bertahan dengan Ayah, tidak bisa membahagiakan Ayah dan Ayah mencari wanita lain yang mampu membahagiakannya.
Mungkin hanya beberapa kali dalam sehari aku berbicara dengan Ibu. Ia selalu berusaha mengajakku berbicara, tetapi aku tak pernah menyiapkan telingaku untuk mendengarkannya. Selalu kuacuhkan Ia dengan mudahnya.

                Sore itu, tak kutemukan Ibuku di rumah. Aku mencarinya untuk menandatangani surat persetujuan orangtua untuk perpisahan kelas dua belas. Aku mencarinya ke rumah tetangga, tak kutemukan. Aku kembali ke rumah. Mungkin Ibu pergi ke rumah muridnya.

                Sudah dua hari aku tak menemukan Ibuku. Tak ada pesan yang ditinggalkannya. Aku masuk ke kamarnya dengan langkah yang sedikit takut. Kamar yang selalu rapi, tak ada debu ataupun sarang laba-laba disana. Kutemukan album foto di atas kasur. Sepertinya Ia lupa menaruh kembali sehabis melihatnya. Kubuka kembali ruang usang itu, bukti bisu tentang semua yang pernah ada. Kutemukan fotoku dan Ibuku sedang makan es krim vanila, sedang mewarnai gambar kereta, sampai bermain air mancur di tengah kota. Ternyata, sewaktu kecil, aku lebih dekat dengan Ibu daripada Ayahku. Semakin kubalik lembaran itu, semakin kurindu Ibuku. Kucoba menepis perasaan itu, tetapi tak bisa. Aku begitu menyayanginya. Aku rindu berbicara dengannya, aku rindu masak berdua, aku rindu belanja berdua, aku rindu bermain masak-masakan berdua, aku rindu cerita-cerita masa kecilku darinya, aku rindu segala hal yang kulakukan dengannya.

                Kuletakkan kembali album foto itu di laci meja. Tak sengaja aku melihat sebuah buku yang bergambar payung besar berwarna merah muda. Belum  pernah aku melihat buku itu. Dengan rasa penasaran, tanganku bergerak mengambilnya dan membuka halaman demi halaman.
                Buku itu adalah buku harian Ibu.

Di halaman pertama, Ibu menjelaskan mengapa memilih payung besar berwarna merah muda. Tertulis disana dengan tulisan rapi khas Ibu, bahwa payung besar itu adalah dia. Dia adalah payung besar yang ingin selalu bisa melindungiku dengan cinta. Dia tak peduli kalau aku sudah tak lagi mempedulikannya. Yang dia tahu, dia ingin selalu menjagaku.
Ibu banyak menuliskan tentangku. Tentang rasa khawatirnya saat aku pulang malam, takut aku tak mempunyai teman, khawatir akan kesehatanku, sekolahku, jam tidurku, hingga kantung mataku yang kian menghitam. Beberapa juga Ia menceritakan tentang Ayah. Tertuis di sana, bahwa Ia telah lama mengetahui kelakuan Ayah di belakang. Ayah mencintaiku, tapi tidak lagi dengannya. Ia menceritakan bagaimana Ia berjuang sendirian mempertahankan cintanya, tetapi itu semua di luar kemampuannya. Dengan tinta pulpen yang berwarna berbeda, ibu menulis “Jangan memaksa Tuhan untuk memilih pilihanmu. Tetapi pilihlah apa yang Tuhan telah pilih untukmu.” Tepat di baris itu, bulir air mataku jatuh satu persatu.
Ibu selalu menjadikanku penopang semangatnya. Semangat yang mampu menopang ribuan awan itu, ditumpukan padaku. Padaku, seorang anak perempuan yang tak mengerti cinta dari seorang Ibu. Saat ini aku merasa jadi orang yang paling bodoh. Sibuk membenci hingga lupa ada orang yang harus kucintai.

                Semakin kubalik halamannya, semakin banyak pula air mata yang berjatuhan. Mataku panas, sesak, aku telah melukainya terlalu dalam. Selama ini, Ia selalu berusaha untuk membicarakan sesuatu hal dan hal itu ternyata adalah tentang penyakitnya yang bahkan aku baru mengetahuinya. Ia terkena penyakit jantung. Sudah lama semenjak kami masih satu rumah dengan Ayah, Ibu menyembunyikan semuanya. Aku mulai kalut. Kucari obat ibuku, mungkin aku akan mengetahui di mana selama ini Ia mengecek kesehatan jantungnya. Mungkin juga Ibu tak ada di rumah karena sedang berada di rumah sakit.

                Aku menemukan obatnya di kantung kulkas setelah hampir setengah jam kucari di setiap jengkal rumah. Rumah Sakit Dokter Sutomo. Kuambil jaket dan helmku, kupacu kecepatan motorku hingga 60km/jam dengan air mata yang susah sekali dihentikan. Aku tak tahu harus apa selain mencarinya di sana.

                Ia terbaring lemah di bilik yang ditutup gorden biru. Dokter menjelaskan semua, Ibu sudah terlambat untuk dipasangkan ring di jantungnya. Ibu tak mau menggunakan uang tabungannya untuk keperluannya. Ibu bercerita banyak pada dokter cantik yang berperawakan seperti model majalah itu tentangku. Ibu ingin uang tabungannya dipakai untuk keperluan sekolahku hingga ke perguruan tinggi. Ia merelakan kesehatannya sendiri untuk anaknya yang bahkan membencinya. Ibu meminta dokter untuk tidak memberi tahuku tentang keadaannya, hingga mungkin ia tak bernyawa. Aku hanya bisa menangis, menyesali hal-hal bodoh yang kubuat sendiri, kebencian yang kubangun sendiri. Aku berlari memeluk Ibuku, tak bisa kutahan lupan rinduku. Kuat sekali kupeluk, seakan-akan aku bisa memaafkan diriku sendiri, seakan-akan aku bisa menyembuhkannya kembali.


Hari ini, aku bermain ke rumah Ibuku yang baru. Aku harus bisa memperlihatkan senyum terbaikku, walaupun air mata bisa kapan saja jatuh. Aku selalu mengunjungi ibuku, tak kurang dari 2 kali sebulan. Karena cinta adalah, sesibuk apapun, kamu selalu berusaha agar mempunyai waktu luang untuknya. Kuletakkan bunga matahari kesukannya di bawah batu nisan, kusiram tempat peristirahatan terakhirnya itu dengan sebotol air mineral, lalu kubacakan doa untuknya. Untuknya yang tak pernah berhenti mencintaiku.
Untukmu Ibu,
Terimakasih untuk selalu ada saat aku di posisi terbawah,
Terimakasih telah menjadi inspirasi setiap langkah,
Terimakasih telah menjadikanku orang yang tabah,
Terimakasih telah mengajarkanku bagaimana mencinta,
Terimakasih telah menunjukkan dunia fana yang indah,
Terimakasih untuk mencintaiku tanpa jeda,
Terimakasih Ibu, tetaplah berjalan bersisian denganku, walaupun aku tahu engkau sedang bermain di langit ke tujuh.
Ibu masih menjadi senja favoritku, walaupun sekarang dan seterusnya, senja akan berwarna kelabu.



Amanat:
Sayangi ibumu walau kau tak perah bisa melampaui kasih sayangnya. Karena Ibu adalah malaikat tanpa sayap, malaikat yang bisa kita lihat, yang dikirimkan Tuhan untuk menjaga kita. Ibu rela memberikan semua yang Ia punya untuk kebahagiaan kita. Ia tak ingin melihat anaknya sepertinya. Ia ingin anaknya lebih baik darinya. Adalah kepuasan yang tak ternilai harganya saat orang tua melihat anaknya lebih sukses darinya, dan pencapaian yang luar biasa saat seorang anak bisa membuat orangtuanya bahagia. Sebaiknya bicarakan apa yang mengganjal di pikiran, jangan hanya menarik kesimpulan sendiri dan hanya menyalahkan orang lain tanpa tahu kebenarannya. Perjuangkan apa yang seharusnya menjadi milik kita, dan bertahanlah bersama orang yang ingin berjuang bersama, bukan dengan orang yang hanya ingin diperjuangkan sebelum penyeselan menertawakanmu di ujung jalan. 







Andini Nur Fitri
XI MIA 3



*kutipan Zarry Hendrik
*tugas Bahasa Indonesia mengarang cerita pendek. saya lupa tanggal berapa.

1 komentar:

  1. Terimakasih, postingan-nya sangat bagus sekali. Senang sekali berkunjung ke blog anda. saya bantu share ya gan? semoga dapat bermanfaat buat kita semua. Amin :D :D

    BalasHapus